Sebelumnya dalam diskusi jajak pendapat tersebut sempat mencuat beberapa kekhawatiran terkait wacana revisi UUPA. Hal ini merujuk pada pengalaman implementasi UUPA yang telah berjalan dengan terganjalnya beberapa kewenangan Aceh.
“Saya sepakat revisi UUPA secara terbatas, kita kawal secara terbatas. Kalau secara umum UUPA yang direvisi secara keseluruhan ini tipis kemungkinan tidak terjadi masalah di kemudian hari,” ujar anggota DPRA Ridwan Yunus.
Menurut Ridwan Yunus, kekhawatiran tersebut muncul lantaran DPRA tidak dapat mengawal secara optimal pembahasan revisi Undang-undang itu karena dilaksanakan oleh DPR RI. Namun, pihak DPRA hanya bisa mengawalnya di kemudian hari melalui aturan turunan UU yaitu Qanun atau Peraturan Gubernur semata.
“Mau atau tidaknya (UUPA) direvisi, kembali lagi kepada DPRA atau masyarakat Aceh. Istilahnya bola sudah dilempar ke lapangan, maunya apa dimainkan atau ditendang, terserah kepada bapak-bapak,” ungkap Ridwan Yunus.
Dia kemudian merujuk kepada pengalaman politik hukum yang menggerus kewenangan Aceh pada tahun 2012. Selain itu, ada pula beberapa produk hukum baru di Indonesia yang “memutilasi” kekhususan Aceh termasuk Pemilu serentak yang sejatinya berlangsung tahun 2022 menjadi 2024.
“Kalau memang masyarakat Aceh kompak, bukan tidak mungkin kita revisi, tetapi revisi terbatas, dengan syarat Pemerintah Indonesia rela bahwa Undang-undang ini dijalankan, kalau nggak diberikan kewenangan untuk ketiga azas ini disatukan menjadi lex specialist terhadap semua kehidupan di luar enam masalah ini, kita siap,” kata Ridwan Yunus.
Terkait kekhawatiran kekhususan Aceh ini juga disuarakan oleh Komite Peralihan Aceh (KPA) yang menilai bahwa implementasi UUPA hingga saat ini belum berjalan optimal.
Wakil Ketua KPA Kamaruddin Abubakar atau Abu Razak mencontohkan terkait lahan bagi mantan kombatan GAM dan tapol serta korban konflik di Aceh.
“Tanah (anggota) KPA saja (seluas) dua hektare (untuk) 3.000-6.000 anggota saja belum jelas sampai hari ini,” kata Wakil Ketua KPA Abu Razak.