“Kejahatan ini bisa digolongkan kepada extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) karena selain merusak masa depan anak dan perempuan juga merusak nilai-nilai syariat Islam yang diberlakukan di Aceh,” jelas politikus Partai Nanggroe Aceh tersebut.
Darwati menilai hukuman bagi pelaku yang diatur dalam qanun sangat ringan dibanding Undang-Undang Perlindungan Anak.
Di dalam Undang-undang, pelaku dapat dihukum maksimal 20 tahun penjara, seumur hidup atau hukuman mati bila pelaku telah melakukannya berulang kali.
Di dalam qanun, katanya, memberi peluang ke pelaku tidak di penjara tapi hanya menjalani hukuman cambuk. Selain itu, sistem pembuktian perkara di dalam qanun disebutkan dibebankan ke anak yang menjadi korban.
“Anak korban harus menunjukkan saksi yang melihat dia diperkosa atau dilecehkan, kalau tidak bisa maka kasus banyak yang dibebaskan. Padahal kita tahu bahwa tidak mungkin pemerkosaan atau pelecehan dilakukan di tempat umum, ramai, pasti pelaku membawa korban ke tempat sunyi dan sepi,” ujar Darwati. (IA)