Berbagai kearifan lokal, seni, hingga kuliner mengiringi penyambutan delegasi Muktamar.
“Kami sangat bangga dengan kesungguhan kawan-kawan di Aceh, terutama komitmen, semangat dan pengorbanan,” kata Daeng.
Daeng mengatakan, Muktamar ke-31 IDI tersebut harus menjadi momentum bagi seluruh pengurus IDI untuk mewujudkan dan mengingatkan peran dan fungsi dokter.
“Marilah kita berhimpun, tuangkan peran kita dengan memproduksi gagasan. Mari kita betul-betul membuat gerakan kontribusi, dengan mencurahkan ide dan gagasan,” kata Daeng.
Kata Daeng, tidak sepantasnya seorang dokter melanggar kode etik. Apalagi mengisukan sesuatu yang tidak bermanfaat.
“Setelah Muktamar ini proses meningkatkan peran dokter harus menjadi lebih baik. Banyak hal perlu kita hadapi, pandemi, perkembangan teknologi 4.0 dan teknologi pengobatan kita yang masih tertinggal dengan negara lain,” kata Daeng.
Menurut Daeng, masih adanya gap penguasaan teknologi kesehatan antara dokter Indonesia dan negara lain. Kesenjangan tersebut harus dikikis sehingga dokter di Indonesia memiliki kompetensi yang berdaya saing.
“Kita harus bisa mengikis gap dengan dokter luar negeri, sehingga bisa memberikan pelayanan terbaik bagi rakyat,” kata Daeng.
Sementara Ketua Panitia Muktamar IDI ke-31 dr Nasrul Musadir, menyampaikan kegiatan tersebut diikuti oleh delegasi 408 dari 450 cabang IDI di Indonesia. Jumlah pesertanya mencapai 1.620 orang.
Nasrul mengatakan, perjuangan untuk membawa Aceh menjadi tuan rumah Muktamar IDI ke-31 bukanlah hal mudah. Suksesnya Aceh terpilih sebagai tuan rumah tidak terlepas dari dukungan Gubernur Nova pada tahun 2018 yang saat itu masih menjabat sebagai Plt Gubernur.
“Dalam satu kesempatan kami berbincang-buncang dengan gubernur untuk mengusulkan Banda Aceh sebagai tuan rumah muktamar IDI. Jawaban gubernur membuat kami tersentak, beliau menugaskan kami untuk membawa Banda Aceh sebagai tuan rumah. Kata beliau ‘saya dukung 100 persen katakan apa yang kalian butuhkan untuk wujudkan mimpi kalian tersebut’,” ujar Nasrul.