BANDA ACEH — Gubernur Aceh Nova Iriansyah menyebutkan, pengawasan sistem pemerintahan di Aceh begitu ketat, sebab lembaga pengawasannya begitu banyak. Selain DPRA/DPRK, ada pula kelompok masyarakat dan individu yang disebut sangat kritis terhadap gerak pembangunan Aceh.
Di satu sisi, menurut gubernur, kebebasan seperti itu mendorong pemerintah lebih berhati-hati dan harus transparan dalam menjalankan kebijakannya. Namun di sisi lain, terkadang kebebasan itu juga disebut tidak lagi menerapkan sendi-sendi etika yang benar.
“Hal seperti ini tentu saja sangat tidak elok, karena sudah di luar etika demokrasi itu sendiri,” kata Gubernur Nova Iriansyah saat membuka dan menjadi pembicara kehormatan pada diskusi publik yang digelar
Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Aceh-Yogyakarta (Himpasay) terkait Demokrasi Sebagai Pilar Pembangunan Aceh, Kamis (8/7).
Diskusi yang berlangsung di Aula Dinas Komunikasi, Informatika dan Persandian Aceh itu menghadirkan sejumlah pemateri, seperti Guru Besar UIN Ar-Raniry Prof Yusny Saby MA PhD, Kepala Dinas Komunikasi Informatika dan Persandian Aceh Marwan Nusuf, hingga Akademisi Fakultas Hukum Universitas Abulyatama Wiratmadinata.
Namun begitu, Gubernur Nova mengaku dirinya tetap berpikir positif dengan kebebasan yang ada sekarang. Setidaknya Pemerintah di Aceh, kata dia, senantiasa berjalan pada jalur yang seharusnya.
Gubernur berharap semangat demokrasi ini akan lebih berkembang lagi, sehingga masalah etika juga menjadi pertimbangan dalam menyampaikan pendapat.
Gubernur Aceh Nova Iriansyah mengatakan, demokrasi merupakan konsep kebijakan yang bersifat dinamis dan universal, namun dalam penerapannya dapat saja berbeda di berbagai tempat.
Demokrasi di Amerika Serikat dan Eropa misalnya, menurut Gubernur Nova belum tentu sama dengan demokrasi yang berkembang di negara Asia dan Afrika. Lihat saja, bagaimana Pemilu yang dilaksanakan di Jerman memiliki perbedaan dengan sistem Pemilu yang diterapkan di Inggris.
Oleh karena itu, lanjut gubernur, demokrasi itu dapat dikatakan bersifat culturally bounded, atau dibatasi oleh karakteristik sosial dan budaya masyarakat setempat.
Demikian juga dengan demokrasi di Indonesia, menurutnya, tidak bisa disamakan dengan sistem kebebasan yang berkembang di Amerika. Demokrasi Indonesia disebut lebih mengedepankan musyawarah dan kebersamaan, sedangkan demokrasi Amerika Serikat lebih mengedepankan kebebasan aktualisasi individu.
“Meski demikian, dalam banyak konteks, demokrasi itu harus memiliki parameter yang sama, misalnya untuk kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan menyampaikan pendapat, hak yang sama di mata hukum, dan sebagainya,” kata Gubernur.
Lebih lanjut, gubernur memaparkan, dalam perjalanannya gagasan seputar demokrasi juga dikatakan selalu mengalami perubahan ke arah yang lebih baik.
Oleh karena itu, menurut Gubernur, suatu negara dapat disebut demokratis jika di negara tersebut sudah berkembang proses-proses menuju kondisi yang lebih baik dalam pelaksanaan supremasi hukum, penegakan HAM, dan menjunjung tinggi kebebasan berekspresi serta prinsip kesadaran dalam menghargai pluralisme.
“Untuk kondisi yang saya sebutkan tadi, demokrasi Indonesia sudah mengalami banyak kemajuan. Bahwa ada kekurangan di sana sini, itu bisa saja terjadi karena faktor kebijakan oknum, bukan karena landasan hukum. Sama halnya di Amerika di mana kasus-kasus rasial masih kerap terjadi.”
Sementara demokrasi di Aceh, kata Gubernur, juga berbeda dengan daerah lain lantaran karakter sosial budaya masyarakat Aceh yang tidak sama dengan daerah lain. Dari kacamata agama misalnya, sebut Gubernur, masyarakat Aceh adalah mayoritas muslim, sehingga ajaran Islam selalu menjadi acuan dalam kehidupan masyarakat di daerah ini. Sehingga, dalam konteks tertentu sistem demokrasi di Aceh akan mengacu kepada ajaran Islam.
Misalnya, berbicara tentang kebebasan, menurut gubernur, pada dasarnya sama dengan daerah lain. Tapi kebebasan individu di Aceh dikatakan harus berpatokan kepada norma dan ajaran Islam. Sedangkan untuk parameter lain yang berkaitan dengan pembangunan daerah, yang berlaku di Aceh adalah sama dengan daerah lain.
Dalam pemaparannya gubernur juga mengutip pandangan Robert A. Dahle, seorang ahli politik dari Yale University, Amerika Serikat yang menyebutkan setidaknya ada lima prinsip demokrasi yang harus ada dalam sistem pemerintahan.
Seperti adanya kontrol atau kendali atas keputusan pemerintahan selama menjalankan mandatnya, adanya pemilu yang teliti dan jujur dengan mengutamakan partisipasi aktif masyarakat, hingga adanya hak memilih dan dipilih bagi setiap masyarakat sesuai aturan yang berlaku.
Selain itu juga harus adanya kebebasan mengakses informasi sehingga sistem pemerintahan berjalan transparan, serta adanya kebebasan masyarakat sipil sehingga memberikan dorongan bagi warga negara yang merasa lemah untuk dapat memperkuat diri.
“Kebebasan masyarakat sipil terkait beberapa aspek, seperti kebebasan berkumpul, kebebasan berpendapat dan berserikat, kebebasan berkeyakinan, dan kebebasan dari sikap diskriminasi. Dengan kebebasan ini, warga menjadi leluasa menyampaikan aspirasi secara terbuka,” kata gubernur.
Untuk poin-poin itu, lanjut Gubernur, Aceh mengalami kemajuan yang sangat pesat. Bahkan dalam survey perkembangan demokrasi Indonesia yang diselenggrakan BPS pada tahun 2018, Aceh menempati posisi pertama sebagai daerah dengan pertumbuhan demokrasi yang terbaik.
“Semangat demokrasi inilah yang mewarnai proses pembangunan Aceh saat ini. Sebagaimana kita ketahui bersama, parlemen di Aceh begitu dinamis dengan kehadiran partai politik lokal, sehingga memberi ruang lebih luas kepada masyarakat untuk terlibat di dalamnya,” ujar Gubernur Nova.
Hal itu, menurut gubernur merupakan sebuah kekhususan yang membuat Aceh berbeda dengan daerah lain di Indonesia. “Dengan semua kebebasan itu, tentunya mendorong sistem Pemerintah di Aceh berjalan lebih hati-hati,” ujar Nova. (IA)