Habiskan Rp679 Juta Bayar Konten Medsos, Pemerintahan Illiza-Afdhal Tak Punya Empati
Kala itu publik merasa dikhianati karena pemerintah berdalih harus melakukan efisiensi anggaran. Kini, luka lama itu seakan terbuka kembali.
Rakyat melihat pola yang sama, belanja untuk kepentingan simbolik lebih diutamakan ketimbang kebutuhan dasar rakyatnya.
Di Banda Aceh sendiri, UMKM yang jumlahnya lebih dari 15 ribu unit masih membutuhkan akses modal dan pasar.
“Membelanjakan uang ratusan juta untuk citra digital di tengah fakta ini, bukan hanya salah urus, tetapi juga penghinaan bagi akal sehat publik. Ini bentuk pemborosan anggaran yang jelas-jelas tidak berpihak kepada rakyat,” ujarnya.
Pemerintah mungkin berargumen bahwa komunikasi publik penting untuk menyampaikan program dan membangun partisipasi. Tetapi dalam tata kelola anggaran, konteks adalah segalanya. Komunikasi tidak berarti pemborosan.
Apalagi bila tolak ukurnya samar, berapa banyak warga miskin yang keluar dari kemiskinan karena konten TikTok? Berapa UMKM yang omzetnya naik karena unggahan Instagram pemerintah?
Tanpa indikator yang jelas, belanja ini hanya akan tercatat sebagai proyek citra tanpa legitimasi.
“Legitimasi seorang pemimpin tidak dibangun dengan jumlah likes, melainkan dengan keberanian memprioritaskan kebutuhan paling mendesak warganya. Jika alarm ini diabaikan, maka Rp679 juta itu akan tercatat bukan sebagai investasi komunikasi, melainkan sebagai simbol ketidakpekaan pemimpin kota terhadap denyut nadi rakyat yang kian terhimpit. Untuk apa Wali Kota sibuk menghabiskan uang daerah sebatas ingin bersolek di halaman media maya, jika kondisi ekonomi dan dapur rumah masyarakat kian terjepit.
Jika benar-benar Wali Kota Illiza berpegang teguh kepada syariat Islam maka ia tentu paham apa yang namanya mubazir, dan bagaimana seyogyanya seorang pemimpin dalam Islam, jika tidak maka ungkapan berbahasa syariah selama ini akan menjadi pemanis bibir belaka,” pungkas.