Indra Milwady Jadi Dewas RSUD Meuraxa dan Kontroversi Hilangnya Barang Bukti Dugaan Politik Uang Illiza-Afdhal
Banda Aceh, Infoaceh.net – Nama Indra Milwady, yang dikenal sebagai mantan Ketua Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Pilkada Kota Banda Aceh 2024, kembali menjadi perbincangan publik setelah dua isu besar kini menyeret dirinya ke pusaran kontroversi.
Pengangkatan sebagai Dewan Pengawas (Dewas) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Meuraxa dan dugaan hilangnya barang bukti berupa uang tunai Rp18 juta dalam kasus politik uang yang menyeret pasangan calon Wali Kota/Wakil Wali Kota Banda Aceh nomor urut 01, Illiza Sa’aduddin Djamal –Afdhal Khalilullah, pada Pilkada 2024 lalu.
Diangkat Menjadi Dewan Pengawas RSUD Meuraxa
Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal yang terpilih pada Pilkada 2024 lalu secara resmi mengangkat lima orang sebagai Dewan Pengawas RSUD Meuraxa pada 14 Maret 2025.
Salah satu yang ditunjuk adalah Indra Milwady, mantan Ketua Panwaslih Kota Banda Aceh periode 2023–2024. Surat keputusan pengangkatan tersebut menuai banyak kritik dari masyarakat dan kalangan akademisi, lantaran pengangkatan tersebut dinilai tidak mempertimbangkan aspek profesionalisme dan latar belakang keahlian yang relevan.
“Beberapa nama dalam Dewas tidak memiliki kompetensi di bidang kesehatan atau manajemen rumah sakit. Penunjukan ini lebih bernuansa politis dibandingkan kebutuhan profesional,” ujar Dr. Nasrul Zaman, pengamat kebijakan publik Aceh.
Kritik semakin tajam setelah terungkap bahwa para anggota Dewas RSUD Meuraxa menerima honor sekitar Rp15 juta per bulan, sementara kondisi keuangan rumah sakit tengah dalam tekanan berat, dengan total utang yang mencapai sekitar Rp60 miliar.
Tak hanya itu, pengangkatan Dewas dilakukan di tengah kritik buruk terhadap layanan RSUD Meuraxa dan minimnya transparansi keuangan di rumah sakit tersebut.
Skandal Politik Uang Pilkada 2024: OTT Panwaslih Banda Aceh
Isu kedua yang menyeret nama Indra Milwady terjadi pada masa jabatannya sebagai Ketua Panwaslih Kota Banda Aceh.
Pada malam tanggal 26 November 2024, Panwaslih Banda Aceh melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di sebuah warung kopi di Gampong Geuceu Iniem, Kecamatan Banda Raya.
Dari hasil OTT tersebut, lima orang diamankan—dua di antaranya diduga sebagai tim sukses pasangan calon Wali Kota-Wakil Wali Kota nomor urut 01 Illiza-Afdhal.
Dari lokasi kejadian, turut diamankan barang bukti berupa uang tunai “belasan juta rupiah” yang diduga akan dibagikan kepada pemilih sebagai bagian dari praktik politik uang.
Selain uang, ditemukan juga daftar nama-nama calon penerima beserta dokumen yang terkait dengan aktivitas kampanye.
Temuan ini disebut-sebut cukup kuat untuk ditindaklanjuti sebagai pelanggaran berat terhadap asas pemilu yang jujur dan adil.
Namun, publik dikejutkan saat Panwaslih Banda Aceh mengumumkan bahwa kasus tersebut tidak bisa dilanjutkan karena tidak memenuhi unsur formil administrasi.
Dalam konferensi pers, Panwaslih menyebut bahwa kasus tidak memiliki laporan resmi dari pengawas di lapangan dan tidak dilakukan proses pleno, sehingga tidak dapat dilanjutkan sebagai pelanggaran tindak pidana pemilu.
Pernyataan tersebut menimbulkan kecurigaan di tengah masyarakat.
Sejumlah aktivis dan pegiat pemilu dari Koalisi Rakyat Menggugat (KRM) menyebut bahwa keputusan Panwaslih sangat janggal dan diduga kuat ada intervensi politik dari pihak tertentu untuk menghentikan proses hukum terhadap pelanggaran yang sebenarnya sudah terang-benderang.
Dugaan Hilangnya Barang Bukti Uang Rp18 Juta Dipertanyakan
Seiring waktu, isu mengenai dugaan hilangnya barang bukti berupa uang tunai dalam kasus tersebut juga mencuat. Meski Panwaslih hanya menyebut “belasan juta rupiah” dalam konferensi pers, beberapa pihak menduga jumlah sebenarnya mencapai Rp 18 juta.
Tidak ada kejelasan mengenai keberadaan uang tersebut setelah kasus dihentikan.
Ketiadaan dokumentasi transparan dan tidak adanya laporan resmi kepada aparat penegak hukum memperkuat dugaan bahwa barang bukti tidak dikelola sesuai prosedur.
Hal ini mendorong sejumlah pihak melaporkan kasus ini ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), meminta agar dilakukan pemeriksaan terhadap Panwaslih Banda Aceh, khususnya terhadap Ketua Indra Milwady dan jajaran komisioner lainnya.
DKPP Mulai Bertindak
Pada Kamis, 17 Juli 2025, DKPP yang dipimpin Ketua Majelis Muhammad Tio Aliansyah resmi memulai sidang pemeriksaan terhadap Panwaslih Banda Aceh.
Laporan yang masuk menuduh Panwaslih telah melanggar prinsip integritas, transparansi, dan profesionalisme sebagai lembaga pengawas pemilu.
“Panwaslih Banda Aceh diduga tidak menjalankan tugas sesuai prosedur dan malah terkesan melindungi peserta pemilu tertentu. Ini mencederai semangat demokrasi dan menghilangkan kepercayaan publik terhadap proses pemilihan yang adil,” ujar Yulindawati, perwakilan pelapor dalam persidangan DKPP.
Yulindawati mengaku telah menyampaikan laporan kepada para teradu. Namun laporan itu tidak ditindaklanjuti dengan tegas. Laporan itu terkait salah satu Tim Kampanye dari Illiza – Afdhal, paslon nomor urut 01 Pilkada Kota Banda Aceh 2024, yang kedapatan melakukan politik uang di Ruang VIP warung kopi Dek Gus dan di belakang warung kopi Dek Gus.
“Di depan kantor Panwaslih dan kemudian yang tersebar di jalan, berbunyi bahwa siapa saja melihat, mendengar dan menyaksikan langsung pelanggaran pemilu money politic, untuk segera dilaporkan, tetapi ketika ada bukti kenapa tidak dilanjuti,” ujar Yulindawati.
Hingga kini, proses di DKPP masih berlangsung. Belum ada putusan resmi, namun pengamat politik dan pegiat antikorupsi di Aceh mendesak agar penyelidikan diperluas termasuk terhadap kemungkinan praktik penyalahgunaan wewenang serta penghilangan barang bukti.
Reputasi dan Akuntabilitas Dipertaruhkan
Kasus ini menjadi pukulan besar bagi kredibilitas Indra Milwady, yang sebelumnya dikenal cukup aktif dalam isu pemilu dan demokrasi di Aceh.
Dua peristiwa besar yang terjadi dalam rentang waktu berdekatan—pengangkatan sebagai Dewas RSUD Meuraxa dengan gaji tinggi dan dugaan kelalaian/penyimpangan dalam penanganan kasus politik uang—menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas dan akuntabilitasnya sebagai pejabat publik.
Sejumlah tokoh sipil dan aktivis di Banda Aceh kini menuntut evaluasi menyeluruh terhadap komposisi Dewan Pengawas RSUD Meuraxa, serta mendorong keterlibatan lembaga hukum dalam mengusut tuntas dugaan pelanggaran etik dan pidana dalam kasus OTT politik uang tersebut.
Jangan sampai pengangkatan Indra Milwady sebagai Dewas RSUD Meuraxa memunculkan anggapan publik sebagai bentuk “balas jasa” kepada yang bersangkutan karena telah “berkontribusi” menyelamatkan Wali Kota/Wakil Wali Kota terpilih sehingga kasus dugaan politik uang tidak berlanjut ke proses hukum dan pasangan Illiza-Afdhal kini mulus menduduki kursi kepala daerah sebagai orang nomor satu dan nomor dua di kota Banda Aceh.
Kisah ini mencerminkan betapa pentingnya integritas dalam setiap jenjang kepemimpinan publik, baik dalam sektor kesehatan maupun dalam proses demokrasi.
Jika pengawasan tidak dijalankan dengan benar, maka kepercayaan rakyat terhadap institusi akan terus tergerus.
Masyarakat kini menanti langkah konkret dari DKPP dan pemerintah untuk menuntaskan persoalan ini dan memulihkan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga pengawas yang semestinya menjadi penjaga moralitas demokrasi.