Banda Aceh — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri mengingatkan seluruh jajaran pemerintah daerah di wilayah Aceh agar tidak melakukan korupsi pada proses pengesahan suatu kebijakan dan anggaran.
“Pak Gubernur, Pak Bupati, Pak Wali Kota saya titip pesan jangan pernah ada uang ketok palu. Kalau itu sampai terjadi, tujuan negara tidak akan pernah terwujud. Ketok palu awal korupsi,” tegas Firli Bahuri.
Penegasan itu disampaikan Firli Bahuri di hadapan 24 kepala daerah meliputi gubernur dan 23 bupati/wali kota beserta jajaran, serta Perwakilan BPKP dan BPK di wilayah Aceh dalam rapat koordinasi program pemberantasan korupsi terintegrasi, bertempat di Aula Gedung Serbaguna Kantor Gubernur Aceh, Jumat (26/3).
Dalam kesempatan tersebut, Firli memaparkan peran dan tanggung jawab para kepala daerah dalam mewujudkan tujuan nasional pada konteks pemberantasan korupsi.
Dia mengajak peserta yang hadir untuk menengok kembali sejarah Aceh yang melahirkan banyak pahlawan dan telah memberikan kontribusi besar dalam kemerdekaan dan pembangunan bangsa Indonesia.
“Saya minta sejarah ini menjadi roh, energi, dan semangat bagi gubernur, bupati, walikota, tokoh masyakat, tokoh agama, akademisi, kepala dinas, dan seluruh elemen masyarakat untuk turut serta mewujudkan tujuan nasional,” pinta Firli.
Seluruh elemen masyarakat, sebut Firli, harus saling bersinergi dan mengawasi agar keuangan negara yang dikelola pemerintah Aceh memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat Aceh.
Apalagi, lanjutnya, pemerintah pusat telah menggelontorkan anggaran yang besar bagi Aceh melalui APBD, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil, serta Dana Otonomi Khusus (Otsus).
“DPRD dengan kewenangannya harus cek Gubernur, Bupati, Wali Kota, apakah dengan anggaran yang besar ini sudah memberikan kebermanfaatan yang optimal bagi masyarakat,” pesan Firli.
Firli melanjutkan, dalam mengawasi keberhasilan suatu pemerintah daerah dalam mengelola anggarannya dapat dilakukan diantaranya melalui pengukuran kenaikan/penurunan angka kemiskinan, angka pengangguran, angka kematian ibu hamil, angka kematian bayi, indeks pembangunan manusia, pendapatan per kapita, serta angka genio ratio.
Indikator-indikator tersebut, sambungnya, juga berkaitan dan bisa menggambarkan apakah terjadi korupsi atau tidak di suatu daerah.
“Oleh karenanya, saya pesan kepada pemerintah daerah untuk tidak sungkan meminta pendampingan kepada BPK dan BPKP dalam mengelola keuangan daerah agar akuntabel dan memberikan manfaat yang optimal,” ujar Firli.
Sementara itu, dalam sambutannya Gubernur Aceh, Nova Iriansyah mendorong komitmen para kepala daerah tingkat II untuk membantu KPK mencegah korupsi.
“Capaian Monitoring Centre for Prevention (MCP) Aceh pada 2020 sebesar 50 persen atau masuk dalam zona kuning. Kemudian target kita tahun ini sebesar 80,66 persen agar masuk zona hijau. Untuk itu, saya minta bupati dan walikota tidak hanya sebatas melaporkan MCP, namun harus dibuktikan dengan kerja nyata yang bersih untuk kesejahteraan masyarakat,” imbuh Nova.
Kegiatan koordinasi dan supervisi KPK dalam mengintervensi pemerintah daerah, difokuskan pada 8 area, salah satunya mendorong penertiban aset daerah.
Pada rangkaian rapat koordinasi ini KPK menyaksikan penandatanganan kesepakatan penertiban atas 8 aset yang selama ini pencatatan dan pengelolaannya tumpang-tindih.
Kedelapan aset tersebut meliputi dua aset yang disepakati untuk dikelola dan dimanfaatkan oleh Pemerintah Aceh dari Pemko Banda Aceh, yaitu:
- Banda Aceh Madani Education Center (BMEC) dengan luas 51.143 m2 senilai Rp 78,63 Miliar;
- Rumah Budaya seluas 2.431 m2 senilai Rp 0,29 Miliar.