BANDA ACEH – Koalisi NGO HAM Aceh mempertanyakan dasar hukum penyegelan dan penutupan warung kopi dan tempat usaha yang dilakukan oleh Satgas Covid-19 dalam beberapa hari ini di Kota Banda Aceh karena masih buka di atas pukul 23.00 Wib.
Kepala Divisi Konstitusi Koalisi NGO HAM Aceh, Muhammad Reza Maulana SH menyampaikan, berdasarkan pantauan pihaknya, beberapa warung kopi didapati telah dipasangi police line sehingga pemilik enggan bahkan takut untuk membuka tempat usahanya yang telah disegel tersebut.
Informasi diperoleh dari berbagai media, kata MRM, tindakan tersebut didasari pada Peraturan Wali Kota Banda Aceh Nomor 20 Tahun 2020. Namun, kata dia, Peraturan Walikota tersebut tidak diketahui keberadaannya.
“Bahkan di situs JDIH Kota Banda Aceh pun sebagai pusat informasi publik juga tidak tersedia di sana. Artinya, peraturan tersebut seharusnya dapat dipublikasikan agar masyarakat mengerti dasar hukum pelaksanaan penyegelan tersebut,” kata Muhammad Reza Maulana (MRM) dalam keterangan tertulisnya, Minggu (30/5).
Selain itu, kata MRM, pihaknya menemukan pula aturan yang dapat diakses luas masyarakat khususnya tentang Covid-19.
Yaitu, Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 51 Tahun 2020 tentang Perubahan Peraturan Wali Kota Banda Aceh Nomor 20 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Usaha Makanan dan Minuman Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19.
“Namun, setelah membaca dengan seksama aturan tersebut sama sekali tidak mengatur tentang jam malam. Ketentuan yang khusus dan wajib dilakukan baik perseorangan maupun tempat usaha adalah melaksanakan protokol kesehatan yang disebut 4M,” tutur MRM.
Di dalam aturan itu, lanjut MRM, juga diatur tentang tahapan dan proses pengenaan sanksi, dimulai dari administratif berupa pembayaran denda dan sanksi sosial, penutupan sementara, sampai penghentian usaha, dan wajib dilakukan secara berjenjang.
“Itupun kalau ada pelanggaran prokes, bukan pelanggaran jam malam (23.00 – 05.30). Jadi, kami tegaskan kembali bahwa jam malam itu bukan prokes sehingga tidak dapat dijadikan dasar hukum penyegelan tempat usaha karena alasan itu,” tegasnya.
Bahkan, kata MRM, setelah mendapatkan laporan dari masyarakat ternyata tindakan tersebut dilakukan tanpa disertai dengan surat tanda bukti pelanggaran (STBP) sebagaimana diatur dalam Pasal 8A ayat (4) Perwal Banda Aceh 51 Tahun 2020.
“Mereka hanya diambil KTP aslinya dan tidak ada selembar suratpun yang diserahkan kepada pemilik tempat usaha. Artinya, tidak jelas itu pelanggaran protokol kesehatan apa yang dilanggar tempat usaha.”
“Jika pelanggaran prokes dilakukan tempat usaha misalnya tidak menyediakan sarana pencuci tangan dan sebagainya, maka tuangkan di dalam STBP tersebut. Jadi, jelas dasar penegakannya. Jika yang dilakukan oleh pengunjung, di dalam aturan itu juga diatur jelas sanksi yang dapat dikenakan. Jadi, jangan main asal segel,” tegas MRM.
MRM menambahkan, jika dilihat dengan cermat apa yang dilakukan Tim Satgas Covid-19 Banda Aceh itu dengan merujuk dasar Perwal yang katanya bernomor 20 Tahun 2020.
“Analisis sementara kami, itu Perwal sudah diterbitkan tahun 2020, lantas kenapa baru tahun 2021 dilaksanakan. Jika yang menjadi dasar tindakan petugas adalah Perwal tersebut, seharusnya keadaan seperti saat ini sudah sejak lama kita lihat. Artinya, mereka para penegak hukum protokol kesehatan pun tidak taat hukum, tidak melaksanakan apa yang sudah diperintahkan norma yang tertuang di dalam Peraturan Walikota tersebut, dimana sudah diterbitkan tahun 2020 namun baru dilaksanakan pada tahun 2021,” ungkapnya.
Terlebih lagi, kata MRM, apabila ditinjau dari segi formil hukumnya, di dalam Perwal 51 Tahun 2020 mengatur tegas tentang pelaku usaha. Di dalam Perwal yang disebutkan pihak Polda Aceh itu (Perwal 20 Tahun 2020) juga mengatur tentang pelaku usaha.
Artinya, kedua aturan tersebut mengatur hal yang serupa, namun dihubungkan dengan asas hukum Perwal 51 Tahun 2020 sebagai aturan yang lebih baru dari Perwal 20 Tahun 2020. Di mana Perwal 51 Tahun 2020 jelas tidak mengatur tentang jam malam, sehingga dihubungkan dengan Asas Hukum Lex Priori Derogat Legi Apriori yang artinya hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama.
Maka pengaturan tentang jam malam haruslah dikesampingkan karena bertentangan dengan hukum yang lebih baru.
“Publik saat ini juga bertanya-tanya terkait alasan logis penutupan tempat usaha di atas jam 23.00 WIB. Pertanyaan yang sering kali muncul adalah apakah Covid-19 baru menular pada malam hari di atas jam 23.00 sampai 05.30 WIB, sedangkan selain dari jam tersebut covid-19 tidak ada? Kemudian para pelaku usaha juga mempertanyakan sampai kapan mereka harus disegel, bagaimana cara kami menggaji karyawan kami, apa manfaat penyegelan di atas jam 23.00 WIB? Sedangkan kita tahu bahwa jumlah orang semakin sedikit yang berada di luar rumah di atas jam tersebut. Dan masih banyak lagi keluh kesah mereka yang seakan menjadi objek terhadap proses pencarian citra diri (cari muka) Satgas Covid-19 Banda Aceh tersebut,” ungkap MRM.
“Bahkan ada menganggap ini cara untuk menghabiskan anggaran yang dilakukan Pemerintah Kota bersama Tim Satgas. Tentu ini penting untuk dapat dijelaskan ke publik,” tambahnya.
“Pernah tidak terpikir oleh mereka, itu warung ditutup bagaimana nasib karyawan yang tidak bekerja itu, ingat, tidak semua karyawan tempat usaha digaji bulanan ada dari mereka yang digaji harian, bahkan jika dilihat tempat usaha di seputaran Simpang Surabaya, Peunayong dan lain-lain ada dari mereka yang baru buka jam 6 sore kemudian harus tutup jam 11 malam. Ini penzaliman yang dilakukan terstruktur dan masif. Jika seperti ini terus dilakukan, tidak lama lagi saat mereka tidak lagi dapat menahan dan bersabar maka hal-hal yang tidak pernah kita inginkan bisa saja terjadi. Semoga saja tidak akan terjadi,” tutur MRM.
“Artinya begini, ini zaman sudah sulit. Pemerintah Kota Banda Aceh beserta Tim Satgas Covid-19 tak perlu cari mukalah, seolah-olah telah melaksanakan suatu tindakan serius penanganan Covid-19 di Banda Aceh. Jka memang tujuannya adalah pencegahan penyebar covid-19, gunakan aturan hukum yang telah diatur jelas. Misalnya mengurangi jumlah pengunjung, memastikan jarak antar pengunjung sesuai dengan prokes, memastikan setiap pengunjung menggunakan masker, memastikan pelaku usaha menyediakan sarana cuci tangan yang disertai disinfektan atau hand sanitizer,” ujarnya.
Jadi, kata MRM, bukannya menutup tempat usaha dengan cara menyegel karena alasan tidak boleh buka di atas jam 11 malam.
“Melainkan tugas Satgas Covid-19 itu memastikan prokes dipatuhi seluruh elemen masyarakat termasuk tempat usaha, bahkan Satgas sendiri, dan kami ulangi bahwa jam malam itu bukanlah protokol kesehatan,” tegas MRM.
MRM menyebut jika mereka mau jujur, “Di seluruh instansi dan dinas-dinas di Kota Banda Aceh khususnya dan lembaga Pemerintahan Aceh yang berlokasi di Kota Banda Aceh bahkan Polda Aceh pun sebagai aparat penegak hukum, dipastikan persentasenya tinggi pelanggar protokol kesehatan. Seperti tidak memakai masker, atau hanya memakai masker namun disangkut di dagu, ya sekadar formalitas semata. Artinya apa, artinya mari kita berbenah di dalam dululah baru keluar, jika di internal sudah selesai dengan urusan prokes, masyarakat pun akan sangat patuh, karena ingat pemerintah itu contoh teladan bagi masyarakat.”
“Masalah terbesar saat ini adalah bukan pada persoalan peningkatan angka pasien covid-19, namun berita hoax yang dengan mudahnya disebar terkait ‘Covid itu konspirasi, covid hanya settingan, covid itu sebenarnya tidak ada, covid proyek pemerintah dan rumah sakit’, sehingga membuat masyarakat awam banyak yang mempercayai itu. Artinya, inilah yang menjadi tugas besar pemerintah saat ini,” kata MRM.
Umumnya, kata MRM, persentase pemahaman masyarakat terhadap bahaya Covid-19 sangat rendah, tugas pemerintah jika ingin menurunkan angka penularan adalah dengan melakukan edukasi secara masif, jangan cuma baliho dan spanduk saja yang bertema prokes di pasang karena sangat rendah kegunaanya.
“Jadi, apabila kita semua memang serius menangani Covid-19, saya berani bertaruh siapapun pejabat maupun petugas di Kota Banda Aceh tidak akan berani melakukannya. Saya tawarkan selama 14 hari tutup semua akses darat, laut dan udara untuk Banda Aceh, tutup semua pengiriman barang online dan offline ke Banda Aceh baik dari dalam negeri maupun luar negeri, karena penularan tidak hanya ada pada manusia tetapi juga pada barang yang disentuh manusia, tutup semua instansi, masyarakat tidak boleh keluar rumah, pemerintah wajib memastikan seluruh kebutuhan masyarakat selama 14 hari tersebut sebelum dilaksanakan tindakan.
Jika hal seperti ini berani dilakukan, masyarakat tidak akan menganggap bahwa penyegelan seperti yang dilakukan seperti saat ini hanya bentuk formalitas semata, upaya cari muka, dan tidak berprinsip pada kemanusiaan dan keadilan,” tegas MRM.
Menurut MRM, zaman sudah susah, jadi janganlah pemerintah menjadi pelaku yang menambah beban kepada masyarakat, bahkan terkesan menzalimi.
“Kami mendukung penuh tindakan pencegahan covid-19, tetapi terhadap tindakan yang berprinsip pada kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, efektif dan efesien, baru rakyat akan berikan jempol kepada para petugas Covid-19 di Kota Banda Aceh,” pungkasnya. (IA)