Jangan Saling Menyalahkan Usai Aceh Kehilangan Empat Pulau
Banda Aceh, Infoaceh.net — Isu berpindahnya administrasi empat pulau yang selama ini diyakini sebagai bagian dari Aceh ke Provinsi Sumatera Utara (Sumut) mengejutkan banyak pihak.
Hal itu setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menetapkan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil masuk ke wilayah Tapanuli Tengah (Tapteng), Sumatera Utara (Sumut).
Keempat pulau tersebut adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. Status administratif ini tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau yang ditetapkan pada 25 April 2025.
Ini bukan sekadar soal titik koordinat atau kesalahan peta, melainkan menyentuh hal yang lebih dalam: sejarah, identitas, dan harga diri Aceh sebagai sebuah entitas daerah berdaulat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tokoh Barat Selatan Aceh Teuku Abdul Hafil Fuddin mengajak semua pihak untuk bersatu, bukan saling menyalahkan setelah Aceh kehilangan empat pulau yang masuk ke wilayah Sumut.
“Dalam situasi seperti ini, yang paling tidak kita butuhkan adalah saling menyalahkan. Saling tuding hanya akan memecah kekuatan, memperkeruh suasana, dan menghambat jalan keluar. Justru sekaranglah waktunya kita bersatu, menata strategi, dan bergerak dengan kepala dingin,” ujar TA Hafil Fuddin dalam keterangannya, Sabtu (31/5).
Perjuangan Butuh Arah, Bukan Amarah
Mantan Pangdam Iskandar Muda tersebut menambahkan, dirinya pernah menyuarakan keprihatinan ini dalam tulisan berjudul “Empat Pulau, Harga Diri Aceh: Saatnya Bangkit Menolak.” Tapi kemudian ia menyadari bahwa penolakan saja tidak cukup.
“Kita harus melangkah lebih jauh, dengan strategi yang matang dan pendekatan yang elegan.
Perjuangan mempertahankan wilayah bukan sekadar soal marah atau kecewa. Ini soal tanggung jawab lintas generasi—bagaimana kita menjaga warisan untuk anak cucu dengan cara yang bijak dan terhormat,” tegasnya.
Fokus pada Solusi, Bukan Friksi
Empat pulau yang disengketakan ini pernah dicatat sebagai bagian dari Aceh dalam forum resmi seperti Indonesia Joint Committee (IJC). Artinya, ada dasar yang kuat bagi Pemerintah Aceh untuk mengajukan klarifikasi dan peninjauan ulang melalui jalur hukum dan diplomasi pemerintahan.
Menurut pensiunan jenderal TNI bintang dua ini, langkah-langkah strategis yang bisa segera dilakukan antara lain:
Bagi Pemerintah Aceh:
Menyurati kementerian terkait (Kemendagri, BIG, ATR/BPN) untuk membuka dan mengkaji ulang dokumen batas wilayah yang sah.
Mengaktifkan kembali Tim Penegasan Batas Wilayah Aceh dengan melibatkan akademisi, pakar hukum, ahli geospasial, dan tokoh adat.
Menyusun kajian akademik berbasis sejarah, hukum, dan administrasi sebagai pijakan dalam proses advokasi ke pemerintah pusat.
Bagi Masyarakat Aceh:
Menahan diri dari narasi provokatif di ruang publik, terutama media sosial.
Mendukung ruang diskusi yang sehat di kampus, komunitas, dan media, agar aspirasi tersalurkan secara konstruktif.
Menjaga kesatuan suara, menjadikan ini sebagai perjuangan kolektif, bukan polemik sektoral.
Harga Diri Bukan untuk Dipertengkarkan
Wilayah adalah bagian dari harga diri. Tapi cara memperjuangkannya juga menentukan bagaimana harga diri itu dipandang—oleh pemerintah pusat, oleh rakyat Indonesia, bahkan oleh dunia luar.
“Kita bisa tegas tanpa menyulut amarah. Kita bisa menuntut hak tanpa menyalahkan saudara sendiri. Dalam perjuangan ini, persatuan adalah kunci, kesabaran adalah senjata, dan strategi adalah jalan.
Mari jadikan persoalan ini sebagai momentum untuk memperkuat sinergi antara rakyat, tokoh daerah, dan pemerintah Aceh. Karena harga diri Aceh tidak akan pernah hilang, selama kita tetap bersatu dan berjuang dengan cara yang terhormat,” pungkasnya.