BANDA ACEH — Juru Bicara Pemerintah Aceh Muhammad MTA menanggapi pernyataan
Anggota Komisi III DPR RI asal Aceh yang membidangi Hukum M Nasir Djamil yang menilai selama ini Pemerintah Aceh lalai dan hanya disibukkan dengan urusan proyek sehingga 4 pulau di Aceh Singkil ditetapkan pemerintah pusat masuk ke wilayah Sumatera Utara.
Pernyataan ini disampaikan Nasir terkait berpindahnya penguasaan empat pulau di Aceh ke Sumatera Utara. Hal itu tercantum dalam Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau. Dalam keputusan itu, empat pulau di Aceh Singkil, yaitu Pulau Panjang, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Lipan, beralih menjadi milik Pemerintah Provinsi Sumut.
“Pernyataan Nasir Djamil nihil konfirmatif dan tendensius, tidak berprinsip solutif sebagai wakil rakyat dan asal bunyi,” ujar Muhammad MTA, dalam keterangannya, Senin (23/5/2022).
Menurutnya, Nasir Djamil sebagai Anggota DPR-RI asal Aceh, sekaligus Ketua Forbes DPR RI/DPD RI asal Aceh seharusnya bisa memberikan contoh yang positif terhadap dinamika konflik administrasi seperti ini.
Sebagai pejabat publik yang mempunyai otoritas penting seharusnya bisa menelusuri kepada pihak-pihak terkait untuk mendapatkan informasi utuh sebagai upaya dlam menjaga dan mengawal hak-hak Aceh di tingkat nasional.
“Bek lagee ureueng mabok ngon ie puteh (Jangan seperti orang mabuk dengan air putih),” tegasnya.
Ditambahkan MTA, pernyataan Nasir Djamil bahwa Pemerintah Aceh selama ini abai terkait 4 pulau yang lepas itu membuktikan nihil konfirmasi.
Karena persoalan ini sebenarnya terus bergulir sejak lama, paling anyar saat itu tahun 2008 periode pertama Pemerintah Aceh pasca damai.
“Sebenarnya kita malas berpolemik di media, namun disebabkan pernyataan yang kami nilai tendensius dan reaksioner, maka penting untuk kami tanggapi terbuka.
Semua kita berpikir untuk kebaikan Aceh, maka biasakan bertindak dan bersatu untuk mewujudkan Aceh yang lebih baik. Hindari anasir-anasir jahat dalam pragmatisme politik,” pungkasnya. (IA)