“Untuk itu, dalam rangka meminta keterangan terhadap beberapa kebijakan Pemerintah Aceh (Plt. Gubernur) yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat. Maka DPR Aceh memandang perlu untuk menggunakan hak interpelasi,” ungkap Irpannusir.
Irpan juga mengatakan ada 58 orang dari 81 anggota DPRA periode 2019-2024 yang ikut menandatangani usulan hak interpelasi tersebut.
Inisiator pengusul hak interpelasi, Irpannusir juga membacakan beberapa alasan mendasar DPRA menggunakan hak interpelasi terhadap kebijakan-kebijakan Plt. Gubernur Aceh yang bernilai penting dan strategis, serta berdampak luas kepada kehidupan bermasyarakat.
Seperti refocusing Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) Tahun 2020 diperkirakan sebesar Rp 1,7 triliun sampai Rp 2,3 triliun terkait penanganan pandemi Covid-19 tidak disampaikan rincian kegiatan dan besaran anggaran kepada DPR Aceh.
Selain itu, kebijakan Pemerintah Aceh (Plt. Gubernur Aceh) tentang pemasangan stiker pemakaian premium dan solar bersubsidi pada mobil sesuai dengan Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 504/9186 Tahun 2020 tentang stiker BBM bersubsidi telah membebani dan meresahkan masyarakat. Sebagaimana ketentuan Pasal 4 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Selanjutnya, kebijakan Gebrak Masker Pemerintah Aceh tidak sepengetahuan DPRA.
Kemudian proyek multiyears tidak berdasarkan persetujuan/rekomendasi Komisi IV dan tanpa paripurna DPRA. Bahkan telah dibatalkan melalui Rapat Paripurna DPRA, sebagaimana amanat Pasal 92 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Meskipun telah dibatalkan melalui Surat Keputusan DPRA Nomor 12/DPRA/2020 tanggal 22 Juli 2020 tentang Pembatalan Pembangunan dan Pengawasan Beberapa Proyek Melalui Penganggaran Tahun Jamak (Multiyears) Tahun Anggaran 2020-2022, namun Pemerintah Aceh tetap menjalankan proses pelelangan proyek tersebut.
Berikutnya, pengangkatan Plt. Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa Setda Aceh, Sayid Azhary oleh Plt. Gubernur Aceh dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Sebagimana Surat Edaran Kepala BKN Nomor 2/SE/VII/2019 tentang Kewenangan Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas dalam Aspek Kepegawaian.