BANDA ACEH — Kantor Ombudsman RI Perwakilan Aceh melaksanakan rapat tentang Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Kota Banda Aceh yang sudah tertunda sekitar tiga tahun lamanya.
Rapat yang berlangsung alot tersebut dilaksanakan di Kantor Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Senin (19/4) yang dipimpin langsung Kepala Ombudsman Aceh Dr Taqwaddin Husin.
Peserta rapat yang berasal dari berbagai kalangan pro dan kontra terhadap IPAL tersebut diperkirakan sekitar 30 orang, dengan tetap menaati protokol kesehatan berlangsung aman dan lancar.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya pihak Ombudsman RI Perwakilan Aceh sudah beberapa kali turun langsung ke lapangan melakukan investigasi ke lokasi IPAL secara door to door melakukan serangkaian interview dengan beberapa instansi terkait.
Hadir dalam rapat tersebut diantaranya Asisten II Pemko Banda Aceh mewakili Wali Kota, Ketua Komisi III DPRK Banda Aceh, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh, Ketua MPU Banda Aceh, BPN Kota Banda Aceh LSM Mapesa, LSM Darud Dunia, dan para aktifis lainnya.
Asisten II Pemko Banda Aceh Syamsuar mewakili Wali Kota menyampaikan, pembangunan IPAL sangat bermanfaat bagi publik, namun karena terjadi protes dari beberapa kalangan, sehingga dihentikan sementara.
“Pembangunan IPAL tersebut sudah mencapai sekitar 80 persen, namun karena ada pro dan kontra terkait temuan makam kuno di lokasi tersebut, jadi kita hentikan sementara” sebut Syamsuar.
“Kita berharap, dengan adanya rapat di Ombudsman akan ada hasil yang terbaik masalah IPAL tersebut,” lanjut Syamsuar.
Kadis PUPR Kota Banda Aceh Jalaluddin dalam paparannya di hadapan para peserta rapat menyebutkan, sebelumnya tidak diketahui adanya makam kuno disekitar proyek strategis nasional (PSN) tersebut, setelah dilakukan pengerukan, baru pada kolam kelima ditemukan enam pusara makam kuno tersebut. Lalu terjadi penolakan pembangunan lanjutan kegiatan dari beberapa kalangan.
Budayawan Aceh Nab Bahany dalam kesempatan tersebut menyampaikan, adanya miskomunikasi selama ini antara pemerintah dengan masyarakat, sehingga masyarakat berpendapat tidak sesuai di lokasi tersebut dibangun IPAL.
“Sebelum melihat langsung ke lokasi, saya tergiring dengan opini,” kata Nab Bahany.
Namun setelah melihat langsung, tambahnya, tidak seperti yang muncul dalam polemik.
Menanggapi polemik yang terjadi terkait IPAL selama ini, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh, Nurmantias dalam kesempatan tersebut menyampaikan perlu dilakukannya analisis heritage impact assesment (analisis dampak terhadap warisan budaya)
Nurmantias juga menuturkan, pembuatan tambak di sekitar Gampong Pande sebenarnya juga telah mengeksploitasi terhadap situs sejarah. Karena di dalam tambak juga banyak ditemukan batu nisan kuno.
Mengenai pemindahan situs cagar budaya, di daerah lain juga pernah terjadi. Karena alasan tertentu, sehingga situs tersebut dipindahkan ke tempat lain.
“Untuk kasus IPAL saat ini, kami memandang perlu dilakukannya analisis heritage impact assesment. Sehingga apapun hasilnya nanti harus kita terima bersama. Apakah dilanjutkan atau dihentikan,” kata Nurmantias.
Sementara Ketua Komisi III DPRK Banda Aceh, Arief Khalifah menyebutkan, saat ini pembangunan IPAL tetap harus lanjut, tapi bersyarat. Arif juga menyebutkan Pemko dan DPRK sangat terbuka dengan berbagai kritikan, karena pihaknya juga tidak ingin merusak cagar budaya dan situs sejarah.
“Kita harus saling tabayyun, dengan menyampaikan bukti-bukti yang ada. Alasan menolak harus jelas,” sebut Arif.
Berbicara masalah IPAL, sambung Arif, itu tidak terlepas dari tingkat elevasi. Jadi tidak bisa sembarang tempat.
Pihak LSM Mapesa dan LSM Darud Dunia yang selama ini getol melakukan penolakan terhadap IPAL di lokasi tersebut juga meminta dilakukannya heritage impact assesment.
“Mapesa tetap pada prinsip dasar, jika nanti IPAL terus dilanjutkan itu terserah pada Pemko. Pada dasarnya, Mapesa tidak menolak pembangunan,” sebut Masykur dalam rapat tersebut.
Aktifis lingkungan, TM Zulfikar yang hadir dalam rapat tersebut juga berharap segera adanya solusi terkait masalah IPAL Banda Aceh yang sudah lama terhenti.
Pada sesi penutupan rapat tersebut, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh menyampaikan kesimpulan kepada peserta. Yang pertama, kata Taqwaddin, perlu segera dilakukannya heritage impact assesment di lokasi pembangunan IPAL tersebut. Kedua, perlu adanya edukasi dan sosialisasi terkait IPAL kepada masyarakat.
Selanjutnya, perlu adanya tim terpadu. Terakhir, sebut Taqwaddin, perlu adanya manajemen media oleh Pemko terkait IPAL tersebut.
“Kami berharap, hasil dari kesimpulan rapat ini segera ditindaklanjuti oleh Pemko. Nanti Ombudsman akan merumuskan ini ke dalam laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) yang merupakan hasil dari berbagai kegiatan investigasi atas prakarsa sendiri oleh Ombudsman,” imbuh Taqwaddin.
“LAHP tersebut merupakan produk hukum yang mengikat dan wajib dijalankan oleh Pemko Banda Aceh nantinya,” pungkas pria yang akrab disapa Pak TW tersebut. (IA)