Banda Aceh —- Pengesahan pemberhentian dr. Irwandi Yusuf M.Sc dari jabatannya sebagai Gubernur Aceh periode 2017 – 2022 dan mengangkat Nova Iriansyah sebagai Gubernur Aceh definitif, dinilai keliru dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta melangkahi hukum.
Hal itu disampaikan Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad melalui Kepala Divisi Konstitusi, Muhammad Reza Maulana, SH setelah pihaknya mendapat informasi
terkait terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 73/P Tahun 2020 tentang Pengesahan Pemberhentian Irwandi Yusuf sebagai Gubernur Aceh dan mengangkat Nova Iriansyah sebagai Gubernur Aceh defenitif.
“Kami melihat Keppres tersebut telah melangkahi hukum yang seharusnya ditaati, pemberhentian gubernur karena adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap, hanya dapat dilakukan pada saat telah terbitnya Putusan Mahkamah Agung (MA) sebagai Pengadilan tingkat Kasasi untuk selanjutnya dilakukan eksekusi atas putusan pengadilan tersebut,” jelas
Muhammad Reza Maulana dalam keterangannya, Rabu (21/10).
“Hari ini apabila kita perhatikan, ternyata sumber utama Irwandi Yusuf dinyatakan bersalah dengan Putusan MA hanya diperoleh dari informasi yang dilihat dari Website www.kepaniteraan.mahkamahagung.go.id sedangkan salinan putusan/petikan putusan sampai dengan hari ini, 20 Oktober 2020 belum dikirim ke Pengadilan Pengaju yaitu PN Jakarta Pusat,” tambahnya.
Ia melanjutkan, dalam Hukum Acara Pidana bagaimana seseorang dapat dinyatakan bersalah berdasarkan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht), harus didahului dengan adanya Putusan MA yang diterima pengadilan pengaju kemudian disampaikan kepada Terdakwa/Penasihat Hukum dan Jaksa Penuntut Umum baru kemudian dapat dieksekusi.
“Namun dilihat di website MA tersebut pada kolom ‘dikirim ke pengadilan pengaju’ masih kosong, artinya dapat dipastikan MA belum mengirimkan Salinan Putusan/Petikan ke PN Jakarta Pusat untuk diserahkan kepada Terdakwa/Penasihat Hukunya dan Jaksa Penuntut Umum,” ungkap Reza.
Walaupun di dalam Website tersebut telah disebutkan, Perkara Nomor 444 K/Pid.Sus/2020 telah putus pada tanggal 13 Februari 2020, namun selama belum disampaikan Salinan/Petikan Putusan oleh MA ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maka Putusan tersebut belum dapat dinyatakan inkracht.
“Sehingga Keppres tersebut tidak sah secara hukum karena tidak diterbitkan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku,” ungkap Reza.
“Tunggu sampai Putusan inkracht, baru terbitkan Keppres kemudian silahkan dieksekusi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) setelah Keppres yang dibuat disampaikan ke DPRA beserta lampiran Petikan Putusan atau Putusan,” tambahnya.
Pihaknya menyarankan agar DPRA menyurati kembali Presiden dan menanggapi, menyatakan bahwa Keppres tersebut tidak dapat dieksekusi karena perkara Irwandi Yusuf belum inkracht sampai dengan hari ini.
“Jadi menurut kami Pembahasan baik melalui Badan Musyawarah (Bamus) maupun Paripurna DPRA harus membahas terlebih dahulu Keppres ini sah atau sesuai tidak dengan ketentuan hukum yang ada, bukan langsung bicara tentang pelantikan,” sebut Reza.
“Karena ingat, keputusan DPRA sebagai lembaga pembuat hukum harus berkesesuaian hukum dan terhadap Keppres tersebut harus ditelusuri kenapa bisa terbit sedangkan Salinan/Petikan Putusannya saja tidak ada,” tambahnya.
Ia melanjutkan, berdasarkan Hukum Acara Pidana, Irwandi Yusuf belum dapat dinyatakan bersalah, sehingga pelantikan Nova Iriansyah sebagai Gubernur Aceh definitif belum dapat dilaksanakan, maka pihaknya meminta kepada DPRA untuk menunda pelantikan sampai adanya Putusan inkracht dari Mahkamah Agung.
“Kemudian terhadap Keppres tersebut yang dinilai cacat hukum harus ditempuh upaya hukum jika Presiden tidak mencabut keputusan tersebut. Artinya DPRA harus mengkaji, menganalisa dan bersikap tegas karena ini menyangkut rakyat Aceh sehingga DPRA tidak boleh mengambil posisi sebagai aparatur Presiden melainkan sebagai Wakil Rakyat yang mewakili segenap rakyat Aceh,” tegasnya.
“Sebagai contoh kecil saja kami sampaikan, bila seseorang diputus bebas oleh pengadilan tingkat pertama kemudian terdakwa harus segera dilepaskan dari tahanan, kemudian putusan tingkat banding menguatkan putusan tingkat pertama sehingga Terdakwa tetap berstatus bebas di luar penjara, kemudian lagi di tingkat kasasi diterbitkan Putusan bahwa Terdakwa bersalah dan dihukum, pertanyaannya adalah kapan Terdakwa tersebut dihukum dan dimasukkan kembali ke dalam Penjara/LP,” ungkapnya.
Berdasarkan Hukum Acara Pidana, lanjut Muhammad Reza, setelah Jaksa Penuntut Umum menerima salinan putusan dari Pengadilan asal, maka sejak saat itulah jaksa berkewajiban untuk menjemput kembali terdakwa dan memasukkannya ke dalam Lapas.
“Jadi inkracht jangan dilihat dari website, karena web itu hanya bentuk kecepatan informasi, karena secara prosedural inkracht haruslah diterima langsung oleh Pengadilan Pengaju dan Para Pihak sehingga Putusan tersebut dapat dieksekusi,” jelasnya.
Jadi, ia meminta kepada Presiden RI demi tertib hukum dan melaksanakan hukum dengan benar baik formil maupun materil untuk mencabut Keppres tersebut dan menunggu sampai dengan Putusan terhadap mantan Gubernur Aceh turun dari Mahkamah Agung Republik Indonesia ke Pengadilan Pengaju,” pungkasnya. (IA)