Pidie, Infoaceh.net — Bayangkan, lahan garapan yang dikelola masyarakat selama puluhan tahun hanya dihargai Rp7.000 hingga Rp10.000 per meter—setara dengan harga satu gelas kopi di warung pinggir jalan.
Itulah yang kini dirasakan sebagian warga di Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie, yang menolak ganti rugi lahan dan tanaman tumbuh untuk proyek Jalan Tol Sigli–Banda Aceh (Sibanceh) Seksi 1 Padang Tiji–Seulimuem.
Harga yang dianggap tak wajar itu membuat sebagian besar warga memilih bertahan dan enggan menandatangani kesepakatan pembebasan lahan.
Akibatnya, pembangunan tol yang menjadi proyek strategis nasional (PSN) itu kembali terhenti di tengah jalan.
Menanggapi persoalan tersebut, Wakil Gubernur Aceh Fadhlullah, didampingi Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Joko Hadi Susilo, turun langsung ke lapangan untuk mendengar keluhan warga.
Pertemuan digelar di Warkop SPBU Gintong, Kecamatan Grong-Grong, Kabupaten Pidie, Rabu (29/10/2025), dan dihadiri unsur Forkopimda Aceh dan Pidie, BPN, Kejari Pidie, serta dua Geuchik gampong terdampak.
Sebelum dialog, Wagub Fadhlullah meninjau langsung sejumlah titik lahan yang masih bermasalah. Ia mengaku menemukan banyak data baru di lapangan yang selama ini belum terungkap.
“Kami ingin mencari solusi terbaik. Tol Padang Tiji–Seulimuem ini sudah tertunda dua tahun. Kalau tidak segera diselesaikan, pembangunan Aceh ikut terhambat,” ujar Fadhlullah.
Ia menegaskan pemerintah menggelar rapat lanjutan di Banda Aceh pada Kamis (30/10/2025), dengan menghadirkan Kementerian Kehutanan, Kementerian PUPR, BPN, dan Kejaksaan Agung untuk memutuskan langkah penyelesaian yang adil bagi masyarakat.
Sementara Pangdam IM Mayjen TNI Joko Hadi Susilo menegaskan bahwa pendekatan persuasif adalah kunci.
“Kita ingin penyelesaian yang damai dan adil. Pembangunan ini bukan untuk merugikan rakyat, tapi untuk kemajuan Aceh,” tegasnya.
Menurut laporan PT Hutama Karya, hingga kini masih terdapat 22 bidang tanah prioritas yang belum selesai ganti rugi tanam tumbuhnya.
Selain itu, empat perlintasan tidak sebidang dan tiga titik lereng tegak masih harus diperbaiki untuk memenuhi uji layak fungsional sebelum tol bisa dioperasikan penuh.
Camat Padang Tiji, Asriadi, menyebutkan, di Gampong Pulo Hagu, dari 191 persil tanah, baru 23 yang sudah dibayar, 60 sudah teken tapi belum dibayar, dan sisanya belum setuju.
Di Gampong Jurong Cot Paloh, dari 49 persil, baru 19 dibayar, 15 sudah teken tapi belum dibayar, sementara sisanya menolak.
Salah satu warga, Ayah Musa Ibrahim, menyuarakan kekecewaannya.
“Bayangkan, tanah kami dihargai Rp7 ribu, Rp10 ribu, bahkan ada yang cuma Rp17 ribu per persil. Itu seharga segelas kopi! Kami tidak menolak pembangunan, tapi tolong hargai jerih payah kami,” katanya dengan nada getir.
Ayah Musa menuturkan, lahan tersebut sudah digarapnya sejak tahun 1980-an untuk peternakan. Ia bahkan masih menyimpan peta lama yang diteken Bupati Diah Ibrahim, sebagai bukti bahwa kawasan itu memang dikelola masyarakat.
Menanggapi keluhan warga, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Pidie, Suhendra SH MH, menegaskan harga ganti rugi sudah ditentukan berdasarkan ketentuan resmi appraisal yang mempertimbangkan jenis tanaman dan lokasi.
“Penilaian tidak bisa asal-asalan, tapi harus sesuai regulasi,” ujarnya.
Pertemuan di warkop itu akhirnya ditutup dengan komitmen semua pihak untuk mencari solusi damai. Wagub Aceh menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menutup mata terhadap aspirasi warga, namun juga berharap masyarakat memberi ruang agar pembangunan tol segera dilanjutkan.
“Kita ingin proyek ini selesai tanpa ada yang merasa dirugikan,” tutur Fadhlullah.
Dengan semangat musyawarah itu, Pemerintah Aceh berharap sengketa lahan yang kini “seharga segelas kopi per meter” bisa segera menemukan keadilan — dan Jalan Tol Sigli–Banda Aceh kembali melaju membawa harapan pembangunan Aceh yang tertunda.



