Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, beserta istri, Dyah Erti Idawati, bersilaturrahmi sekaligus menyerahkan bingkisan kepada anak-anak korban konflik Aceh di Meuligoe Gubernur, Aceh, Sabtu (15/8)
Banda Aceh — Ingatan Junizar kembali ke masa kecil, saat ia bersama ibundanya tengah di ladang. Dua orang dewasa menyapa ibunya mengabarkan sesuatu yang tidak ia mengerti. Tahu-tahu ibunya lunglai, jatuh dan dipapah pulang ke kampungnya di Gampong Panca, Lembah Seulawah.
“Kemudian saya ingat saya duduk di kaki ayah saya yang dibungkus batik warna kuning dan belum dikafankan,”
Junizar menceritakan kenangan tersebut di hadapan Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah di Pendopo Gubernur Aceh, Sabtu pertengahan Agustus 2020.
“Saya anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Mungkin usia saya sekitar 4 tahun waktu itu,” kata Junizar.
Hanya dua kenangan kecil itu yang ia ingat. Ibunya lunglai mendengar ayahnya tewas tertembak. Dan saat ia duduk termenung di kaki almarhum ayahnya. “Ayah saya Muhammad Adam. Saya anak pejuang GAM.”
Ayah Junizar tewas tertembak bersama abang kandung, dua sepupu dan tiga warga Panca lainnya.
Usai itu, kehidupan Junizar berlalu layaknya anak lain. Sekolah, pulang dan bermain. Hanya saja ia merasa butuh kasih sayang seorang ayah. Hal yang membuat ia setiap harinya menghabiskan waktu di rumah teman yang bapaknya seorang guru mengaji.
“Ayah dia seperti ayah saya. Beliau menganggap saya seperti anak sendiri,” kata Junizar.
Junizar kemudian melanjutkan SMP di sebuah panti di Banda Aceh. Saat itulah ia merasa sendiri. Tidak ada orang tua. Saat melihat orang tua kawannya datang mengambil rapor, tapi dirinya hanya diwakilkan pengasuh panti.
“Saya sedih. Saya seperti marah. Semua gara-gara konflik bersenjata,” terang Junizar.
Kehidupannya seketika berubah. Sangat berbeda dengan usia sekolah dasar, saat dimana status anak yatim korban konflik membuat ia diutamakan dalam segala hal. Banyak yang memberikan uang. Jadi yatim membuat Junizar menjadi orang yang diutamakan. “Itu pikiran kecil saya yang nggak tahu apa-apa.”