BANDA ACEH — Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh secara resmi menyerahkan draf atau rancangan qanun tentang penanganan pengungsi luar negeri di Aceh kepada Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), di ruang kerja Banleg DPRA, Selasa, 27 September 2022.
Ikut hadir dalam kesempatan itu, Ketua Badan Legislasi DPRA Mawardi M beserta wakilnya Khairil Syahrial, juga anggota Banleg di antaranya Nurlelawati dan M Ridwan.
Sementara dari KontraS Aceh hadir Maulana, Fuadi Mardhatillah, Razikin serta didampingi dua orang tim penulis rancangan qanun tersebut, yakni Hendra Saputra dan Syahrul. Pertemuan ini juga dihadiri Nurul Fitri Lubis dari UNHCR.
KontraS Aceh dalam kesempatan itu menyampaikan, Aceh kerap kali didatangi pengungsi asal etnis Rohingya, sejak 2006 silam. Hingga kini setidaknya tercatat 21 kali kapal para pengungsi mendarat di sepanjang pantai Aceh.
Berpengalaman sejak dulu, Aceh sampai sekarang masih dinilai gamang dalam menangani kedatangan pengungsi tersebut. Ini lantaran tidak ada regulasi yang spesifik dan komprehensif dalam menanganinya, sebagai turunan dari Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri.
Tanpa aturan spesifik, otoritas lokal di Aceh kerap kali kebingungan dalam menetapkan siapa yang menjadi leading sector untuk menindaklanjutinya. Sementara arahan untuk pembentukan Satuan Tugas (Satgas) penanganan pengungsi juga tak terealisasi merata, hanya di beberapa wilayah seperti Aceh Timur dan kota Lhokseumawe. Keberhasilan dalam menangani pengungsi pun perlu diformalisasi.
Kejelasan soal alur koordinasi penemuan pengungsi, pendaratan hingga penampungan di tempat sementara untuk penanganan lebih lanjut, juga menjadi poin-poin penting yang coba diatur dalam rancangan qanun tersebut.
Secara khusus, misalnya, Aceh punya otoritas adat yakni Panglima Laot sebagai garda depan penyelamatan pengungsi saat masih berada di lautan.
Aturan yang komprehensif sejak hulunya diyakini juga sebagai langkah preventif terhadap potensi-potensi pelanggaran hukum jika pengungsi kembali tiba dalam beberapa waktu ke depan.