Apalagi, menurut KontraS Aceh, siklus kedatangan pengungsi kerap berlangsung dua tahun sekali.
“Sulit untuk membendung gelombang kedatangan pengungsi Rohingya, terutama ketika situasi konflik di kawasan Rakhine, Myanmar terus bergolak sampai sekarang,” ujar salah satu tim penulis draf qanun, Hendra Saputra.
Sementara itu, tim penulis lainnya, Syahrul menambahkan penyerahan draft qanun penanganan pengungsi luar negeri ini merupakan satu bentuk partisipasi dari KontraS Aceh sebagai salah satu elemen masyarakat sipil di Aceh.
Selama proses penyusunan draft tersebut, kata dia, pihaknya juga memprioritaskan peran Satgas Penanganan Pengungsi di Aceh sebagai leading dalam kerja-kerja koordinasi nantinya.
“Jika (kedatangan pengungsi) tidak ingin jadi gangguan bagi Aceh, maka perlu ditata. Regulasi di tingkat nasional memang memberi ruang, tapi tidak detail. Sehingga Aceh selalu kalang kabut menanganinya. Ini juga memicu kekhawatiran ada penyimpangan hukum jika tak ada aturan yang lengkap,” ujar Syahrul.
Badan Legislasi DPRA menyatakan sepakat Aceh butuh regulasi untuk menangani pengungsi luar negeri. Anggota Banleg Nurlelawati mengatakan, rancangan aturan ini nantinya perlu disempurnakan lagi untuk memastikan kewenangan otoritas lokal, serta sejalan dengan peraturan di atasnya, yakni Perpres 125/2016, artinya tidak saling berbenturan.
“Jangan sampai niat baik kita untuk menolong pengungsi, justru nanti bakal menyulitkan kita sendiri. Maka saya sepakat sekali Aceh punya qanun untuk tangani pengungsi, dan tentu perlu terus dibicarakan untuk disempurnakan,” harapnya.
Pertemuan ini diakhiri dengan prosesi penyerahan draft Qanun Penanganan Pengungsi Luar Negeri kepada Banleg DPRA. (IA)