BANDA ACEH – Juru Bicara (Jubir) Komite Peralihan Aceh (KPA) Pusat Azhari Cage menanggapi pemanggilan Ketua Mualimin Aceh Zulkarnaini Hamzah alias Teungku Ni oleh Polda Aceh terkait pengibaran bendera bintang bulan pada 4 Desember 2021 di Lhokseumawe.
Menurutnya, pemanggilan tersebut tidak beralasan secara hukum. Ada beberapa aturan yang masih berlaku sehingga tidak beralasan secara hukum untuk dipanggil.
Pertama, dalam perjanjian MoU Helsinki poin 5.1.1 Aceh berhak mempunyai bendera dan lambang.
Kedua, dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) pasal 246 ayat menyatakan: selain bendera merah putih sebagaimana dimaksud pada ayat 1 Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan, pada ayat empat menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat dua diatur dalam qanun Aceh.
Ketiga, adanya Qanun Aceh nomor 3 Tahun 2013 yang masih sah karena belum pernah dicabut di dalam lembar daerah Aceh yaitu belum ada pembatalan.
Kemudian, dalam PP Nomor 77 tahun 2007 yang dilarang adalah bendera bulan sabit.
“Sedangkan ini adalah bendera bintang bulan dan bukan bulan sabit, bagi wartawan juga saya mengingatkan penulisannya harus benar yaitu bintang bulan, bukan bulan bintang atau bulan sabit,” kata Jubir KPA Pusat, Azhari Cage, dalam keterangan tertulisnya, pada Senin (20/12).
Azhari menyebutkan, jauh-jauh hari pihaknya juga sudah mengingatkan Pemerintah Pusat agar permasalahan politik tentang bendera bintang bulan untuk segera diselesaikan agar tidak terjadi permasalahan hukum dan jatuh korban di antara rakyat Aceh.
“Maka pada waktu itu Pak Presiden Jokowi memanggil Wali Nanggroe dan Mualem (Muzakir Manaf) ke Istana Negara terkait masalah ini dan pak presiden menunjuk Pak Moeldoko sebagai tim dari Jakarta. Tetapi sampai saat ini belum ada progresnya, mungkin belum sempat duduk karena pendemi covid -9. Kita mengharapkan agar penyelesaian masalah bendera diselesaikan secara hati-hati agar Aceh yang sudah damai aman ini tidak lagi terseret ke arah konflik,” sebutnya.
“Apalagi MoU Hensinki dan UUPA belum diimplementasikan sebagai mana mestinya, Teungku Ni sebagai masyarakat Aceh dan juga sebagai ketua Komite Mualimin Aceh mungkin merasa kesal kenapa permasalahan bendera ini belum selesai. Sehingga terjadilah pengibaran dalam milad di Kota Lhokseumawe, bisa jadi tujuannya adalah untuk mengingatkan DPRA, gubernur dan pemerintah pusat agar polemiknya diselesaikan agar jelas secara hukum,” tambahnya.
Selanjutnya, kata Azhari, terkait pernyataan Mendagri sudah membatalkan qanun itu adalah pernyataan sepihak.
“Karena DPRA dan Pemerintah Aceh sampai saat ini belum pernah menerima surat tersebut secara fisik, kecuali pemberitaan di media. Saya tahu betul itu karena saya masih di DPRA saat itu,” katanya.
Azhari Cage juga meminta kepada DPRA dan Gubernur Aceh untuk dapat menjelaskan hal tersebut kepada Kapolda Aceh bahwa terkait bendera bintang bulan setelah lahir qanun ranahnya masih ranah politik belum bisa dibawa ke ranah hukum.
“Kita tunggu saja prosesnya, agar permasalahan ini benar-benar selesai dan tuntas,” pungkas Cage. (IA)