Banda Aceh, Infoaceh.net – Pemerintah Aceh akhirnya turun tangan menertibkan praktik penguasaan lahan oleh perusahaan perkebunan yang selama ini dikeluhkan masyarakat.
Melalui Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Penataan Hak Guna Usaha (HGU), Pemerintah Aceh berkomitmen menata ulang HGU bermasalah yang selama ini menjadi sumber konflik agraria di berbagai kabupaten.
Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh, M. Nasir Syamaun, mengatakan langkah ini merupakan implementasi visi dan misi Gubernur Aceh untuk menegakkan keadilan agraria dan menertibkan tata kelola lahan.
“Kita akan memulai pelaksanaan salah satu visi-misi Gubernur Aceh terkait penataan ulang HGU. Yang kita tata adalah HGU bermasalah, bukan HGU mati,” tegas Sekda Aceh usai memimpin rapat koordinasi dengan Kepala Kanwil BPN Aceh, Arinaldi, dan sejumlah Kepala SKPA terkait, Jum’at (31/10) di Kantor Gubernur Aceh.
Nasir menjelaskan, fokus penataan kali ini tertuju pada perusahaan yang menyalahi izin HGU—baik karena mengelola lahan melebihi batas, menelantarkan lahan hingga tidak produktif, maupun mengabaikan kewajiban membangun kebun plasma bagi masyarakat sekitar.
“Kita sedang mencari payung hukumnya supaya proses penataan betul-betul dapat kita pertanggungjawabkan secara hukum dan administratif,” ujarnya.
Menurutnya, persoalan tumpang tindih antara perusahaan dan masyarakat sudah berlangsung lama. Banyak warga mengeluh karena tanah yang mereka tempati puluhan tahun tiba-tiba diklaim sebagai wilayah HGU perusahaan besar.
“Ini sudah menimbulkan ketegangan sosial. Masyarakat merasa dirampas haknya, sementara perusahaan berlindung di balik izin yang kadang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan,” ungkapnya.
Pemerintah Aceh kini menggandeng Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh untuk melakukan pengukuran ulang terhadap seluruh HGU aktif yang terindikasi bermasalah.
Proses ini akan dilakukan secara transparan, dengan melibatkan masyarakat dan pemegang HGU untuk memastikan tidak ada manipulasi batas lahan.
Kakanwil BPN Aceh, Arinaldi menegaskan pihaknya siap mendukung penuh kebijakan Pemerintah Aceh dalam menata ulang HGU.
“Dalam pengukuran ulang nanti, para pemegang hak akan dilibatkan langsung. Hasilnya akan menjadi dasar produk hukum baru, sekaligus menjadi uji integritas bagi perusahaan pemegang HGU,” jelas Arinaldi.
BPN mencatat, sedikitnya 23 HGU di Aceh telah berakhir masa berlakunya. Lahan-lahan tersebut akan ditindaklanjuti sesuai mekanisme hukum yang berlaku, dan sebagian besar akan diusulkan menjadi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) untuk kepentingan masyarakat.
Sekda Aceh menegaskan, pemerintah berkomitmen menjadikan HGU yang telah berakhir masa izinnya sebagai tanah produktif untuk rakyat, bukan kembali jatuh ke tangan korporasi.
“Lahan yang habis izinnya akan kita alihkan menjadi TORA. Ini adalah bagian dari keadilan agraria dan upaya menghidupkan kembali ekonomi masyarakat di sekitar perkebunan,” kata Nasir.
Kebijakan ini mendapat dukungan dari Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Kadistanbun) Aceh, Cut Huzaimah, yang menyebutkan akan segera dibentuk tim teknis penataan HGU bermasalah.
“Langkah awalnya adalah pembentukan tim dan penyusunan database HGU bermasalah. Kita akan mengajukan kebun-kebun yang perlu diukur ulang berdasarkan tiga indikator utama: kelebihan lahan, plasma tidak dibangun, dan lahan yang ditelantarkan,” jelasnya.
Kebijakan penataan ulang HGU ini diharapkan menjadi momentum untuk mengakhiri ketimpangan agraria di Aceh. Pemerintah ingin memastikan bahwa tanah yang semestinya menjadi sumber kehidupan rakyat tidak lagi dikuasai segelintir pihak.
Selain sektor perkebunan, Pemerintah Aceh juga berencana menata ulang izin pertambangan, agar pengelolaan sumber daya alam di Aceh benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat dan daerah.
“Kita tidak anti investasi, tapi kita ingin keadilan. Siapa pun yang mengelola lahan di Aceh harus tunduk pada aturan, menghormati hak masyarakat, dan berkontribusi untuk daerah,” tegas Sekda Aceh M. Nasir.
Dengan langkah ini, Pemerintah Aceh menegaskan era pembiaran atas penguasaan lahan rakyat oleh perusahaan besar telah berakhir. Saatnya tanah di Tanah Rencong benar-benar berpihak kepada mereka yang menggantungkan hidup di atasnya — rakyat.



 
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
 