Banda Aceh — Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA) menyebutkan kajian arkeologi untuk kelanjutan proyek pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Gampong Pande tidak dilakukan oleh instansi pemerintah yang berwenang dan bertanggung jawab dalam persoalan cagar budaya.
Tapi justru itu dilakukan oleh pihak terkait dalam persoalan proyek IPAL yang dalam hal ini disebutkan adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Dengan demikian, dalam pelaksanaan kajian dan zonasi proyek IPAL itu, terbuka peluang untuk hal-hal yang bersifat tidak objektif dan keilmuan, atau juga terbuka peluang untuk penggiringan hasil kajian dan zonasi kepada hal-hal yang selaras dengan kepentingan pihak-pihak terkait, yang dalam hal ini adalah Kementerian PUPR dan Pemerintah Kota Banda Aceh.
“Pernyataan-pernyataan tersebut hanya mengacu kepada hasil kajian arkeologi dan zonasi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait tanpa merpertimbangkan nilai-nilai sosial budaya yang dihormati dan dipraktikkan oleh masyarakat Aceh, kearifan lokal (local wisdom) yang dimiliki oleh masyarakat Aceh, dan hal-hal yang menduduki tempat penting dalam perasaan dan hati masyarakat Aceh,” kata Ketua MAPESA Mizuar Mahdi, Sabtu (27/02/2021).
MAPESA juga telah menyampaikan pandangan terhadap Surat Wali Kota Banda Aceh kepada Menteri PUPR RI Perihal Lanjutan Pembangunan IPAL Kota Banda Aceh.
Pada Senin sore, 22 Februari 2021, Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA) baru saja mengetahui adanya sebuah surat tertanggal 16 Februari 2021 M/04 Rajab 1442 H dengan nomor 660/0253 yang ditandatangani oleh Walikota Banda Aceh Aminullah Usman dengan tembusan ke berbagai pihak. Surat tersebut ditujukan kepada Menteri PUPR RI Cq. Direktur Cipta Karya di Jakarta, perihal Lanjutan Pembangunan IPAL Kota Banda Aceh dan bersifat Penting.
Oleh karena surat tersebut dapat berefek dan berdampak buruk pada kehidupan sosial budaya masyarakat Kota Banda Aceh secara khusus, masyarakat Aceh dan Indonesia secara umum, maka LSM MAPESA-Aceh memandang penting mengutarakan pandangan-pandangannya menyangkut poin-poin yang termuat dan dinyatakan dalam surat tersebut.
Pertama, dalam surat tersebut, Wali Kota Banda Aceh menerangkan bahwa pernyataan-pernyataan dalam suratnya itu adalah sesuai dengan hasil kajian arkeologi di lokasi IPAL dan jaringan perpipaan air limbah Kota Banda Aceh oleh Kementerian PUPR RI, Zonasi Kawasan Gampong Pande di bekas Bandar Aceh Darussalam oleh Tim Zonasi Kawasan Gampong Pande, serta hasil rapat Pemerintah Kota Banda dengan pihak terkait pada Rabu, 3 Februari 2021.
“Dari keterangan itu, kami memahami bahwa kajian arkeologi dan zonasi yang dimaksud dilakukan oleh Kementerian PUPR, yang dalam hal ini merupakan pihak terkait, dan yang juga dengannya kemudian Pemerintah Kota Banda Aceh duduk rapat pada 3 Februari 2021,” sebutnya.
Pernyataan-pernyataan dalam surat Wali Kota Banda Aceh tersebut juga tidak mempertimbangkan fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Nomor 05 Tahun 2020 tentang Pemeliharaan Situs Sejarah dan Cagar Budaya dalam Perspektif Syariat Islam, yang dalam salah satu ketetapannya adalah: “Hukum menghilangkan, merusak, mengotori dan melecehkan nilai-nilai cagar budaya Islami adalah haram”.
MPU Aceh dalam fatwanya itu juga merekomendasikan antara lain: Diharapkan kepada Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten/Kota untuk melestarikan dan tidak menggusur situs sejarah dan cagar budaya dalam rangka pembangunan di Aceh. Dalam hal ini, lembaga Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh adalah sebuah lembaga yang sangat dihormati oleh masyarakat Aceh.
Dalam surat Wali Kota Banda Aceh juga diterangkan bahwa menurut Ilmu Arkeologi, nisan-nisan kuno dan kerangka manusia yang ditemukan di lokasi IPAL dan Jaringan Air Limbah Kota Banda Aceh merupakan situs arkeologi (warisan budaya). Tetapi penegasan itu kemudian dilanjutkan dengan pernyataan: “Namun, tidak berupa makam raja atau keluarga raja pada masa Kesultanan Aceh, melainkan bagian dari pemakaman masyarakat umum.”
Wali Kota memandang, dalam perspektif Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, perlindungan terhadap situs arkeologi (warisan budaya) adalah karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau kebudayaan (pasal 1, ayat 1, UU No. 11, 2010).
Sehingga, sebuah situs arkeologi, warisan budaya atau cagar budaya, seperti sebuah lokasi pemakaman bersejarah, tidak dinilai penting hanya karena merupakan makam raja dan keluarga raja, tapi karena nilai sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau kebudayaan yang dimilikinya.
Menurut Mapesa, pernyataan: “Namun, tidak berupa makam raja atau keluarga raja pada masa Kesultanan Aceh, melainkan bagian dari pemakaman masyarakat umum,” merupakan sebuah pernyataan yang tidak objektif dan ilmiah. Sebab, fakta yang sesungguhnya adalah kita tidak tahu atau tidak dapat memastikan apakah itu makam raja, keluarga raja, atau lainnya, dari masa Kesultanan Aceh. Tidak ditemukan apapun keterangan, epitaph atau inskripsi pada nisan-nisan tersebut—dan ini sebagaimana umumnya batu-batu nisan peninggalan sejarah Aceh yang dipercaya berasal dari abad ke-18 dan berikutnya—sama sekali tidak memberikan kita hak dan alasan untuk memastikan bahwa itu adalah pemakaman masyarakat umum.
Selanjutnya pernyataan, “Namun, tidak berupa makam raja atau keluarga raja pada masa Kesultanan Aceh, melainkan bagian dari pemakaman masyarakat umum,” dinilai Mapesa selain terkesan sengaja untuk mengurangi nilai dan kepentingan kompleks pemakaman tersebut, juga memberikan sinyal bagi keterancaman kompleks-kompleks makam peninggalan sejarah Aceh yang tersebar di berbagai lokasi, dan tidak atau belum teridentifikasi pemiliknya, atau hanya karena dianggap bukan makam raja atau keluarga raja.
“Penemuan kompleks makam bersejarah di lokasi proyek IPAL sesungguhnya merupakan sebuah penemuan yang fenomenal sebab ditemukan relatif dalam di bawah permukaan tanah yang alami pada masa sekarang. Ini merupakan suatu fakta sangat penting bagi ilmu pengetahuan di samping kepentingan benda-benda cagar budaya (diduga cagar budaya sebelum penetapan) yang berupa nisan-nisan kuno.
Penemuan tersebut merupakan bukti sekaligus petunjuk baru terhadap perubahan geomorfologis yang terjadi wilayah pesisir Kota Banda Aceh, terutama di kawasan muara Krueng Aceh, di mana beberapa ilmuan sebelumnya telah mengungkapkan tentang adanya proses penurunan permukaan tanah di wilayah itu yang menenggelamkan permukiman kuno.
Temuan kompleks pemakaman di lokasi IPAL yang diyakini berasal dari abad ke-18 itu dapat memberi limit waktu mulai proses perubahan geomorfologis itu terjadi, dan dapat menjadi suatu acuan baru bagi berbagai penelitian yang ditujukan untuk menemukan sisa-sisa permukiman-permukiman kuno di sepanjang pesisir Kota Banda Aceh dan lainnya.
Dari itu, kepentingan dan nilai kompleks pemakaman bersejarah yang ditemukan di lokasi IPAL tidak saja dikarenakan makam-makam serta batu-batu nisannya, tapi juga pada konteksnya. Atas dasar ini, pemindahan kompleks pemakaman tersebut dari konteksnya ke posisi lain, dalam perspektif UU No. 11, 2010, dapat dianggap sebagai sebuah tindakan yang merusak cagar budaya,” sebut Mapesa.
Disebutkannya, lokasi situs kompleks pemakaman itu berada dekat dengan situs-situs lainnya, bahkan hanya beberapa ratus meter dari tugu titik nol Kota Banda Aceh yang diasumsikan telah ditetapkan sebagai sebuah situs sejarah versi Pemko Banda Aceh.
“Dari itu, dalam pandangan kami, lokasi situs tersebut merupakan salah satu situs yang termasuk dalam satuan geografis yang disebut kawasan cagar budaya (diduga kawasan cagar budaya sebelum ditetapkan)”.
Pernyataan Wali Kota Banda Aceh bahwa saat ini secara hukum, situs tersebut belum ditetapkan menjadi cagar budaya sehingga keberadaan IPAL di sekitar situs tersebut tidak menyalahi aturan yang berlaku serta tidak tergolong mengganggu keberadaan situs cagar budaya.
Dalam hal ini, Mapesa memandang, bahwa benar, secara hukum, situs tersebut belum ditetapkan sebagai cagar budaya, namum pernyataan seperti tersebut dalam waktu yang sama dapat memberikan sinyal bagi keterancaman benda, bangunan, struktur, lokasi atau satuan geografis yang diduga sebagai cagar budaya, terutama oleh karena pengabaian amanah UU No. 11, 2010, pasal 26 ayat 1, yang berbunyi: “Pemerintah berkewajiban melakukan pencarian benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya.”
Selain itu juga oleh karena kelambanan proses pendaftaran, pengkajian dan penetapan. Semua itu, kami kira, berpangkal pada kurangnya pengetahuan, pemahaman dan perhatian terhadap potensi cagar budaya yang dimiliki oleh Kota Banda Aceh.
“Sepengetahuan kami, lokasi situs pemakaman tersebut tidak berada di sekitar IPAL, tapi di dalam lokasi IPAL, dan lokasi IPAL begitu pula TPA dan IPLT berada dalam kawasan yang menurut kami adalah kawasan cagar budaya (kawasan yang diduga cagar budaya sebelum penetapan).”
“Lokasi situs pemakaman itu telah terganggu lantaran telah dipindahkan dari lokasi aslinya (in situ) ke tempat lain. Atas dasar hal-hal yang kami ketahui, kami menilai Wali Kota Banda Aceh dalam hal ini telah memberikan pernyataan yang tidak akurat,” beber Mapesa. (IA)