Banda Aceh, Infoaceh.net – Polemik pemindahan administratif empat pulau di Aceh ke wilayah Sumatera Utara makin memanas. Gerakan Pemuda Iskandar Muda (GePIM) Aceh secara tegas menyebut Menteri Dalam Negeri (Mendagri) diduga telah memalsukan dokumen negara melalui penerbitan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2–2138 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Kode dan Data Wilayah Administratif Pemerintahan.
Empat pulau yang menjadi sumber sengketa—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—dalam Kepmendagri tersebut tercatat sebagai wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara.
Padahal, selama ini secara historis dan yuridis, keempat pulau itu dianggap sebagai bagian dari Aceh.
Ketua GePIM Aceh, Zulhadi, menyatakan keputusan Mendagri ini tidak hanya menyalahi sejarah dan hukum, tetapi juga diduga mengandung unsur pidana berupa pemalsuan dokumen negara.
“Kami melihat ini bukan hanya kelalaian administratif, tetapi ada dugaan kuat pemalsuan dokumen negara oleh Mendagri. Jika dalam dua minggu tidak ada pencabutan resmi terhadap SK tersebut, kami akan melaporkan hal ini ke Mabes Polri atau Polda Aceh,” kata Zulhadi dalam keterangannya di Banda Aceh, Senin (9/6).
Zulhadi menyebutkan, batas wilayah Aceh telah ditetapkan secara jelas dan sah, mengacu pada peta tahun 1956 yang menjadi salah satu dokumen penting dalam Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 2005.
Menurutnya, peta yang dirujuk dalam MoU Helsinki tersebut juga telah diperkuat melalui peraturan perundang-undangan, termasuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 127 Tahun 2015, yang merupakan perubahan dari Perpres Nomor 94 Tahun 2011 tentang Badan Informasi Geospasial (BIG). Peta resmi dari BIG itu secara tegas menunjukkan batas-batas Aceh sesuai peta 1 Juli 1956.
“Dalam MoU Helsinki, sudah jelas disebutkan bahwa batas Aceh merujuk pada peta 1956. Bahkan ada referensi batas Aceh mencakup hingga ke Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Jadi keputusan Mendagri ini jelas bertentangan dengan dasar hukum yang telah ditetapkan,” lanjut Zulhadi.