Ia menilai keputusan tersebut tidak hanya melecehkan perjanjian damai antara Aceh dan negara, tetapi juga berpotensi memicu ketegangan sosial dan konflik horizontal di masyarakat perbatasan.
“Ini bukan hanya persoalan administratif. Ini menyangkut integritas hukum dan kedaulatan daerah. Mendagri tidak bisa begitu saja mengubah data tanpa dasar yang sah. Kalau ini dibiarkan, akan menjadi preseden buruk dalam tata kelola pemerintahan,” tambahnya.
GePIM juga mendesak Pemerintah Aceh dan DPR Aceh untuk segera mengambil sikap tegas. Mereka menilai selama ini respons dari elite lokal cenderung lemah dan tidak memadai menghadapi kebijakan pusat yang merugikan kepentingan Aceh.
“Pemerintah Aceh dan DPR Aceh harus proaktif. Jangan menunggu bola, karena ini menyangkut wilayah kita. Dan untuk DPR RI, jangan sembarangan membuat pernyataan tanpa merujuk pada aturan hukum dan MoU Helsinki yang menjadi acuan resmi,” ujarnya.
Zulhadi menegaskan jika jalur hukum tidak ditempuh, maka masyarakat Aceh akan kehilangan hak atas wilayahnya secara perlahan, lewat manipulasi administratif yang terkesan sistematis dan terencana.
GePIM sendiri saat ini tengah menyiapkan dokumen hukum untuk keperluan pelaporan ke kepolisian dan telah mengumpulkan bukti-bukti yang dianggap menguatkan dugaan pemalsuan dokumen.