Oleh: Teuku Taufiqulhadi*
ADA kemajuan sangat besar di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) selama kepemimpinan Sofyan Djalil. Paling utama dan sangat penting, Sofyan Djalil mengejar para mafia tanah sampai ke ujung langit.
Ia membentuk satgas antimafia tanah untuk pertama kali dalam sejarah kementerian ini. Dan, ia bersumpah, negara tidak boleh kalah dengan para mafia tanah. Dulu, semua pihak menikmati kondisi yang tanpa Satgas Anti mafia tanah.
Akibatnya para mafia merajalela. Tapi meski merajalela, semua menganggap aman tanpa mafia.
Kini berbeda, publik jadi tahu semua, bahwa mafia itu sangat banyak karena langkah Menteri Sofyan Djalil ini. Para mafia menjadi kalang-kabut.
Mereka mengerahkan segala segala kekuatan untuk menyerang balik Sofyan Djalil. Bahkan ada yang meminta mundur. Tangan-tangan yang pro-mafia pun kini bergerak dengan kekuatan penuh, dan mempersoalkan hal-hal yang tidak relevan dengan wewenang ATR/BPN, atau menggugat sesuatu yang telah baik di Kementerian ATR/BPN.
Saya sebutkan misalnya masalah Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB). HGU ini adalah wewenang gubernur untuk memberikan kepada suatu korporasi. Gubernur yang merekomendasikan, bukan BPN.
Wewenang BPN hanya pada persoalan mengadministrasikan saja, yaitu memberikan hak berupa HGU atau HGB. Maka seharusnya ketika direkomendasikan, harus sudah dipahami keadaannya.
Jika sudah diduduki masyarakat, maka sebaiknya diselesaikan dulu dengan masyarakat. Korporasi dan pemda harus sudah membereskan keadaan tersebut terlebih dahulu.
Konflik agraria juga bisa terjadi di tanah negara. Misalnya tanah yang dikuasai PTPN yang berkonflik dengan masyarakat. Konflik agraria di lahan PTPN tidak bisa diselesaikan oleh BPN karena itu domainnya Kementerian BUMN.
Tapi Menteri BUMN pun tidak dengan gampang melepaskan aset negara agar konflik agraria selesai. Karena aset itu telah tercatat di perbendaharaan negara. Jadi Menteri Keuangan pun harus terlibat untuk menyetujuinya.
Soal pendapat bahwa ada surveyor kadaster luar yang bekerja untuk pengukuran tanah tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, itu pendapat yang salah sama sekali.
Untuk pengkuran tanah, BPN bisa menggunakan tenaga dari luar yaitu juru ukur yang berlisensi. Juru ukur ini dapat lisensi dari lembaga resmi negara, yang telah lulus setelah mengikuti ujian dan dinilai layak mendapat lisense. Mereka hadir karena dijamin oleh Permen Menteri ATR/BPN tahun 2016.
Ada Undang-udangnya, dan karenanya dapat dipertanggungjawabkan.
Bagaimana dengan pendapat, pengangkatan pejabat di BPN penuh KKN? Itu salah total.
Justru sekaranglah pengangkatan pejabat dan mutasi pejabat di ATR/BPN sepenuhnya berdasarkan prinsip-prinsip meritokrasi dan transparansi.
Setiap pegawai yang berminat untuk dipromosi, boleh mengajukan diri. Setelah itu, kementerian membentuk tim pemandu bakat.
Ia diwawancarai oleh tim ini, yang di dalamnya ada menteri, sekjen, para dirjen dan lainnya. Jika lulus, maka ia akan dimasukkan dalam “talent basket” dengan skor tersendiri. Mereka yang telah berada dalam basket inilah yang diambil untuk mengsisi semua posisi di seluruh Indonesia dan pusat.
Jika belum masuk basket, ia tidak bisa dipromosikan. Dengan sistem merit dan transparansi ini, terhindar kementerian untuk bersikap like and dislike. Dan dengan demikian jauh dari KKN.
Bahkan kini, menteri saja tidak bisa sembarang menempatkan orang kecuali orang tersebut telah ada dalam basket tadi.
*Penulis Staf Khusus dan Jubir Kementerian ATR/BPN