Mengenang 24 Tahun Pembantaian Teungku Bantaqiah di Beutong Ateuh
Pasukan yang meradang itu menggeledah pesantren dan dengan kasar meminta memerintahkan semua santri laki-laki dewasa turun serta berkumpul di halaman pesantren dalam posisi jongkok sambil memperlihatkan KTP.
Mereka disuruh melucuti pakaian, kecuali celana dalam. Bersamaan dengan penggeledahan tersebut, tim yang dipimpin Sudjono datang lagi ke lokasi.
Laporan Pantau menyebut, Sudjono memaksa Bantaqiah menyerahkan semua bedil yang diduga ia simpan. Bantaqiah membantah. Ia merasa tak pernah memiliki sepucuk pun senjata seperti yang dituduhkan.
Tak puas dengan pengakuan Bantaqiah dan tetap memaksa, pasukan pun kehilangan kesabaran. Di tengah-tengah situasi menegangkan, Sudjono mempersoalkan sebuah antena radio pemancar yang terpasang pada atap pesantren.
Ia menyuruh Usman, salah satu putra Bantaqiah, untuk mencopotnya. Setelah itu, kekejian perlahan-lahan mulai menampakkan wujudnya.
Usman berjalan menuju rumah untuk mengambil peralatan agar lebih mudah membongkar antena. Namun sebelum ia mencapai rumah yang jaraknya hanya 7 meter dari tempat berkumpul, seorang pasukan memukulnya dengan senjata api.
Menyaksikan putranya disakiti, Bantaqiah pun berusaha mendekati dan memeluknya. Bersamaan dengan mendekatnya Bantaqiah ke arah Usman, pasukan mengumandangkan aba-aba menembak.
Detik itu juga, Teungku Bantaqiah, ulama yang begitu dihormati di seantero Aceh Barat, jatuh tersungkur bersimbah darah. Ia tewas seketika.
Pasukan kemudian mengeluarkan tembakan beruntun dan membabi buta ke arah kumpulan santri. Tak sampai satu menit, 34 santri menyusul sang guru.
Setelah berondongan tembakan berulang-ulang itu, pasukan mengumpulkan santri yang masih hidup untuk dibariskan. Dengan dalih membawa mereka berobat, santri yang mengalami luka diangkut, bahkan santri yang sama sekali tidak terluka juga ikut dibawa. Semuanya berjumlah 23 orang.
Mereka dinaikkan truk untuk dibawa menuju Takengon, Aceh Tengah. Hanya beberapa orang saja yang sengaja ditinggalkan. Di tengah perjalanan, tepat di kilometer 7, dua puluh tiga santri itu diturunkan dan diperintahkan berjongkok persis pada bibir sebuah jurang.