BANDA ACEH — Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tgk H Faisal Ali menanggapi soal nelayan di Kota Lhokseumawe, Nazaruddin Razali, yang mengajukan permohonan suntik mati ke pengadilan.
Tgk Faisal menegaskan, dalam Islam, bunuh diri seperti permintaan suntik mati merupakan dosa besar.
“Itu tidak boleh dalam Islam, karena itu bagian daripada putus asa, itu dilarang oleh Allah. Orang yang putus asa dari rahmat Allah itu dosa besar,” kata Tgk Faisal saat dimintai konfirmasi wartawan, Jumat (7/1/2022), seperti dilansir dari detikcom.
Ulama Aceh yang akrab disapa Lem Faisal ini menyebutkan, semua permasalahan yang dihadapi seseorang masih ada solusi dan jalan keluarnya.
Dia juga mengatakan tantangan yang diberikan Allah itu kecil bila dibandingkan dengan nikmat yang cukup besar.
“Maka tidak boleh ada upaya-upaya untuk bunuh diri karena pekerjaan itu tidak boleh. Jadi di agama Islam tidak membenarkan seseorang itu dalam keadaan putus asa dari rahmat Allah,” jelas Tgk Faisal Ali.
“Permohonan untuk minta bunuh diri itu disuntik mati, itu bagian dari pada putus asa karena problem yang dihadapi dianggap itu tidak ada lagi jalan keluar itu tidak boleh,” lanjutnya.
Tgk Faisal meminta pihak terkait memberi pendampingan ke nelayan tersebut. Bila ada masalah yang dihadapi, kata Faisal, agar disampaikan ke pemerintah, tetangga, masyarakat, serta keluarga.
“Semuanya akan memberi jalan keluar terhadap permasalahan yang beliau hadapi. Di sinilah sesama muslim itu kan saudara. Jadi kalau ada masalah, bisa dibicarakan baik-baik dan tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang membuat kita seakan-akan Allah tidak sayang lagi sama kita,” kata Tgk Faisal.
Sebelumnya, Nazaruddin Razali, seorang nelayan di Kota Lhokseumawe mengajukan permohonan suntik mati ke pengadilan negeri (PN) setempat. Salah satu alasannya adalah kebijakan Pemko Lhokseumawe yang membuatnya tertekan.
Permohonan suntik mati disampaikan nelayan itu ke PN Lhokseumawe pada Kamis (6/1/2022) dan tercatat dengan nomor PNL LSM-01-2022-KWS. Perkara itu kemudian diregistrasi dan mendapat nomor perkara: 2 /pdt.p/2022/PN LSM.
Nelayan tersebut bersama kuasa hukumnya dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) juga mengirimkan surat ke Kepala PN Lhokseumawe agar mengabulkan permohonan suntik mati.
Kuasa hukum penggugat, Safaruddin, mengatakan permohonan suntik mati diajukan karena kliennya tidak sanggup menghadapi tekanan, termasuk dari Pemko Lhokseumawe.
Wali Kota disebut telah mengeluarkan aturan melalui surat nomor 523/1322/2021 yang isinya melarang budi daya ikan di dalam Waduk Pusong.
Surat itu dikeluarkan Wali Kota pada 26 Oktober 2021. Surat itu juga memerintahkan agar keramba milik masyarakat di dalam waduk dibongkar secara mandiri paling lambat 20 November 2021.
“Pemerintah akan merelokasi usaha budi daya ikan dalam waduk yang dikelola secara berkelompok di bawah binaan Kodim 0103 Aceh Utara,” kata Safaruddin dalam keterangan kepada wartawan.
Safaruddin menjelaskan kliennya, yang menggantungkan hidup di waduk, menolak upaya relokasi. Pemindahan itu disebut tidak pernah dibahas dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrengbang) di Gampong Pusong Lama.
Dalam upaya relokasi, kata Safaruddin, Pemko Lhokseumawe melibatkan unsur Muspika Banda Sakti. Dalam proses sosialisasi, Muspika disebut membawa aparat keamanan sehingga membuat kliennya ketakutan dan tertekan.
“Apalagi pemohon pernah melewati masa konflik pemerintah pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka dan masih menimbulkan rasa traumatik ketika Muspika melakukan pemaksaan seperti itu karena hal seperti itu sering terjadi pada masa konflik perjuangan Gerakan Aceh Merdeka dulu,” ujar Safaruddin.
“Oleh karena itu, pemohon dengan memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Lhokseumawe agar mengabulkan permohonan pemohon untuk melakukan eutanasia di Rumah Sakit Umum Kesrem Lhokseumawe dengan disaksikan oleh Wali Kota Lhokseumawe, Camat Banda Sakti, dan Danramil Banda Sakti,” lanjut kuasa hukum Nazaruddin, Safaruddin. (IA)