Pembangunan Batalyon TNI Terus Berlanjut: Mualem Diam, DPRA Bungkam!
Anggota DPD RI asal Aceh, H. Sudirman (Haji Uma), ikut bersuara lantang. Ia menyebut bahwa pembangunan enam batalyon (satu proyek di Aceh Singkil dibatalkan) dengan anggaran Rp238 miliar adalah bentuk pengkhianatan terhadap MoU Helsinki. Bahkan, ia menilai alasan “ketahanan pangan” yang digunakan sebagai justifikasi pendirian batalyon sebagai dalih yang tidak masuk akal.
“Kalau ingin memperkuat ketahanan pangan, libatkan petani, bukan menambah pasukan bersenjata lengkap,” tegasnya.
Rakyat Aceh tidak sedang menolak kehadiran TNI secara menyeluruh. Tapi penambahan batalyon di wilayah yang pernah menjadi daerah konflik, tanpa keterlibatan rakyat Aceh dan tanpa konsultasi dengan Pemerintah Aceh, jelas adalah pelanggaran terhadap perjanjian damai.
Apalagi jika anggaran yang digunakan mencapai Rp238,2 miliar.
Aceh punya MoU Helsinki 2005 dan punya UUPA—dua dokumen penting yang menjamin keistimewaan Aceh dalam pengelolaan keamanan. Tapi hari ini, dokumen itu seperti kertas usang yang dilupakan oleh para elit yang dulu bersumpah akan menjaganya.
Yang lebih menyakitkan, suara dari DPRA pun nyaris tak terdengar. Sementara mahasiswa yang turun ke jalan hanya diberi ruang dalam bentuk audiensi tertutup.
Lima batalyon TNI sedang dibangun di sejumlah kabupaten di Aceh: Nagan Raya, Aceh Timur, Gayo Lues, Pidie, dan Aceh Tengah. Proyek ini didukung anggaran fantastis: Rp238 miliar, mayoritas dilakukan lewat penunjukan langsung.
Ironisnya, pembangunan itu dilakukan tanpa partisipasi rakyat, tanpa konsultasi dengan Pemerintah Aceh secara resmi, dan yang lebih memilukan—tanpa suara dari mereka yang seharusnya menjaga kehormatan Aceh.
Mualem Diam, DPRA Bungkam
Gubernur Aceh saat ini, Muzakir Manaf, atau lebih dikenal sebagai Mualem, adalah figur sentral dalam narasi perlawanan Aceh. Mantan Panglima GAM itu menjadi simbol keberanian dan harga diri rakyat Aceh. Ia dipercaya sebagai tokoh yang tidak mudah tunduk pada Jakarta.
Bahkan saat sengketa tanah wakaf Blang Padang mencuat, Mualem bersuara keras dan menyurati Presiden Prabowo, menuntut pengembalian tanah kepada Masjid Raya Baiturrahman.