Infoaceh.net

Portal Berita dan Informasi Aceh

Pembangunan Batalyon TNI Terus Berlanjut: Mualem Diam, DPRA Bungkam!

Hingga kini, tidak ada satu pun pernyataan dari Mualem menolak tambahan batalyon TNI ini—padahal pembangunan tersebut dinilai banyak pihak sebagai pelanggaran serius terhadap MoU Helsinki 2005.
Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem masih belum bersuara untuk menyatakan sikapnya menolak atau mendukung pembangunan tambahan lima batalyon TNI di Aceh. (Foto: Ist)

Banda Aceh, Infoaceh.net –Dalam sejarah politik Aceh modern, ada satu kata kunci yang selalu menjadi titik simpul antara harapan dan kecurigaan: perdamaian.

Setelah konflik berkepanjangan yang menewaskan ribuan orang dan menghancurkan sendi-sendi masyarakat, rakyat Aceh memilih jalan damai pada 2005 melalui MoU Helsinki.

Perjanjian itu bukan sekadar dokumen politik, tetapi kontrak moral antara rakyat Aceh dan Republik Indonesia—bahwa konflik telah usai, dan bahwa Aceh akan diatur secara khusus dan bermartabat melalui UUPA (Undang-undang Pemerintahan Aceh).

Namun 20 tahun setelah MoU Helsinki diteken, bayangan militerisasi kembali menampakkan wajahnya.

Bayangan masa lalu yang tiba-tiba hadir dalam bentuk pembangunan lima batalyon TNI baru di beberapa wilayah Aceh.

Yang lebih mencemaskan, adalah kebisuan para pemimpin lokal, termasuk Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem, sosok yang selama ini dikenal lantang bersuara tentang hak-hak rakyat Aceh.

Hingga kini, tidak ada satu pun pernyataan dari Mualem menolak tambahan batalyon TNI ini—padahal pembangunan tersebut dinilai banyak pihak sebagai pelanggaran serius terhadap MoU Helsinki 2005.

Ironisnya, dalam kasus sengketa tanah wakaf Blang Padang Banda Aceh, Mualem tampil tegas dan bahkan menyurati Presiden Prabowo Subianto. Tapi, dalam kasus pembangunan fasilitas militer baru yang berdampak sistemik terhadap perdamaian dan otonomi Aceh, ia memilih diam.

Pada 7 Juli 2025, ratusan massa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Aceh Menggugat turun ke jalan, memadati depan Kantor Gubernur Aceh. Mereka membawa spanduk penolakan dan menyuarakan dua tuntutan: pengembalian lahan wakaf Blang Padang dan pembatalan pembangunan batalyon TNI.

Namun, suara mereka tak masuk ke ruang rapat pemerintah. Jalanan diblokade, dan aksi hanya dibalas oleh pagar kawat dan aparat.

Koordinator aksi, Yulindawati, mengingatkan bahwa tanah Blang Padang merupakan wakaf Sultan Iskandar Muda, bukan tanah negara. Ia juga menyatakan bahwa pembangunan lima batalyon baru adalah bentuk pelecehan terhadap kesepakatan damai yang sudah dijaga selama dua dekade.

Anggota DPD RI asal Aceh, H. Sudirman (Haji Uma), ikut bersuara lantang. Ia menyebut bahwa pembangunan enam batalyon (satu proyek di Aceh Singkil dibatalkan) dengan anggaran Rp238 miliar adalah bentuk pengkhianatan terhadap MoU Helsinki. Bahkan, ia menilai alasan “ketahanan pangan” yang digunakan sebagai justifikasi pendirian batalyon sebagai dalih yang tidak masuk akal.

“Kalau ingin memperkuat ketahanan pangan, libatkan petani, bukan menambah pasukan bersenjata lengkap,” tegasnya.

Rakyat Aceh tidak sedang menolak kehadiran TNI secara menyeluruh. Tapi penambahan batalyon di wilayah yang pernah menjadi daerah konflik, tanpa keterlibatan rakyat Aceh dan tanpa konsultasi dengan Pemerintah Aceh, jelas adalah pelanggaran terhadap perjanjian damai.

Apalagi jika anggaran yang digunakan mencapai Rp238,2 miliar.

Aceh punya MoU Helsinki 2005 dan punya UUPA—dua dokumen penting yang menjamin keistimewaan Aceh dalam pengelolaan keamanan. Tapi hari ini, dokumen itu seperti kertas usang yang dilupakan oleh para elit yang dulu bersumpah akan menjaganya.

Yang lebih menyakitkan, suara dari DPRA pun nyaris tak terdengar. Sementara mahasiswa yang turun ke jalan hanya diberi ruang dalam bentuk audiensi tertutup.

Lima batalyon TNI sedang dibangun di sejumlah kabupaten di Aceh: Nagan Raya, Aceh Timur, Gayo Lues, Pidie, dan Aceh Tengah. Proyek ini didukung anggaran fantastis: Rp238 miliar, mayoritas dilakukan lewat penunjukan langsung.

Ironisnya, pembangunan itu dilakukan tanpa partisipasi rakyat, tanpa konsultasi dengan Pemerintah Aceh secara resmi, dan yang lebih memilukan—tanpa suara dari mereka yang seharusnya menjaga kehormatan Aceh.

Mualem Diam, DPRA Bungkam

Gubernur Aceh saat ini, Muzakir Manaf, atau lebih dikenal sebagai Mualem, adalah figur sentral dalam narasi perlawanan Aceh. Mantan Panglima GAM itu menjadi simbol keberanian dan harga diri rakyat Aceh. Ia dipercaya sebagai tokoh yang tidak mudah tunduk pada Jakarta.

Bahkan saat sengketa tanah wakaf Blang Padang mencuat, Mualem bersuara keras dan menyurati Presiden Prabowo, menuntut pengembalian tanah kepada Masjid Raya Baiturrahman.

Namun, pada isu yang jauh lebih fundamental—penambahan kekuatan militer secara sistemik di tanah Aceh—Mualem justru diam seribu bahasa. Tak satu pun pernyataan keluar darinya.

Tidak ada sikap resmi dari Pemerintah Aceh. Tidak ada protes, tidak ada keberatan, bahkan tidak ada kejelasan apakah Mualem setuju atau tidak.

Lebih parah lagi, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang seharusnya menjadi lembaga politik pengawal otonomi Aceh pun ikut bungkam. Tidak ada rapat untuk penolakan pembangunan lima batalyon baru TNI di Aceh.

Tidak ada inisiatif meninjau ulang proyek yang begitu besar dan kontroversial itu. Mereka hanya diam.

MoU Helsinki membatasi jumlah personel TNI di Aceh hanya 14.700 orang. Itu adalah kesepakatan resmi yang diakui dunia internasional. Ia menjadi dasar terbentuknya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang memberikan kewenangan khusus bagi Aceh dalam mengatur keamanan dan urusan internal lainnya.

Namun hari ini, ketika tambahan ±6.000 hingga 18.000 personel digeser masuk Aceh, tidak ada transparansi.

Bahkan alasan yang digunakan pemerintah pusat—untuk mendukung ketahanan pangan—justru dianggap mengada-ada dan ofensif terhadap akal sehat.

“Kalau mau memperkuat ketahanan pangan, libatkan petani. Bukan bangun batalyon.”
— H. Sudirman alias Haji Uma, Anggota DPD RI dari Aceh.

Ia juga menyebut, proyek ini dilakukan tanpa komunikasi terbuka dengan Pemerintah Aceh maupun masyarakat lokal, yang justru menjadi pihak yang paling terdampak.

Sejak kapan pembangunan barak militer menjadi simbol kemajuan?
Mengapa ketika rakyat meminta sumur bor, kelas sekolah, rumah layak huni, dan jembatan di desa terpencil—jawabannya adalah markas tentara?

Apakah negara benar-benar mendengar? Ataukah Aceh hanya dianggap sebagai “wilayah yang harus diawasi,” bukan “provinsi yang dihormati”?

Hari ini rakyat Aceh bertanya: di mana Mualem dan DPRA saat Aceh kembali dihinggapi trauma militerisasi?

Damai itu bukan ketiadaan konflik. Damai adalah hasil dari keadilan, partisipasi, dan penghormatan terhadap janji. Ketika pemerintah pusat bertindak sepihak, dan elit lokal diam melihat rakyatnya dipinggirkan, maka perdamaian bukan lagi warisan, melainkan bom waktu.

Yang ditolak bukan TNI, tapi cara negara mengabaikan komitmen damai.

Yang dilawan bukan pembangunan, tapi penghinaan terhadap kehendak rakyat.

Hari ini, sejarah mencatat:

Rakyat bersuara.

Mahasiswa turun ke jalan.

Haji Uma berdiri menyampaikan keberatan.

Sementara itu, Mualem diam. DPRA bungkam. Hari ini, suara rakyat ditenggelamkan oleh senyapnya para elit.

author avatar
Hasrul
Jurnlias Infoaceh.net

Lainnya

Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi sedikit buka suara terkait kasus ijazah saat hadiri reuni angkatan 80 Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Sabtu (26/7/2025).
Mahfud MD menilai rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris BUMN berpotensi langgar hukum dan memperkaya diri sendiri. (Foto: Dok. Istimewa)
Presiden ke-7 RI Joko Widodo menyebut ada kekuatan besar di balik isu ijazah palsu dan pemakzulan Gibran, namun tak menunjukkan bukti maupun nama yang dimaksud. (Foto: Dok Setpres)
Anggota Komisi V DPR RI Sudjatmiko mengingatkan agar pembangunan Ibu Kota Nusantara tidak menjadi proyek ambisius tanpa arah yang jelas dan transparan, Sabtu (26/7/2025). (Foto: Ist)
Pasukan militer Thailand dikerahkan dalam Operasi Trat Pikhat Pairee 1 untuk menghadapi agresi militer Kamboja di perbatasan Provinsi Trat, Sabtu (26/7/2025). (Foto: Nation Thailand)
Presiden ke-7 RI Joko Widodo menghadiri reuni 45 tahun Angkatan 80 Fakultas Kehutanan UGM, Sabtu (26/7/2025), dan menyindir balik tudingan ijazah palsu yang menyeret nama dosen pembimbingnya.
Gubernur Jateng Ahmad Luthfi memeragakan gaya pejabat yang sibuk membuat konten saat menyampaikan sindiran dalam Rakor TKPK di Semarang. (Foto: Istimewa)
Kapolda Aceh Irjen Pol Achmad Kartiko melepas peserta lomba lari Bhayangkara Run 2025, Ahad pagi (27/7) di halaman Polresta Banda Aceh yang berlangsung meriah dan diikuti ribuan pelari dari dalam dan luar Aceh. (Foto: Ist)
Empat kapal perang Angkatan Laut Thailand dikerahkan dalam Operasi Trat Pikhat Pairee 1 di perbatasan Kamboja-Thailand. (Foto: RTN)
KPK
Presiden Prabowo agar tidak melanjutkan budaya rangkap jabatan yang marak di era Jokowi. (Foto: tangkapan layar/YouTube TV Parlemen)
Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKB, Maman Imanulhaq, menyoroti masih tingginya jumlah penduduk miskin di Indonesia berdasarkan data BPS Maret 2025. (Foto: Ist)
Presiden Joko Widodo melontarkan candaan tajam soal ijazah saat memberi sambutan di reuni ke-45 Angkatan 80 Fakultas Kehutanan UGM, Sabtu (26/7/2025). (Foto: Ist)
Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, tampil beda saat menghadiri reuni Angkatan 80 Fakultas Kehutanan UGM, mengenakan kemeja putih sementara alumni lain seragam biru. (Foto: Ist)
Wakil Presiden Ma’ruf Amin memberikan dukungan kepada Prabowo Subianto untuk menguatkan Pasal 33 UUD 1945 demi kemakmuran rakyat. (Foto: Biro Setwapres)
Presiden Joko Widodo saat menghadiri reuni Fakultas Kehutanan UGM. Teman satu angkatan, Mulyono, menyebut tidak ada jurusan sama sekali pada masa kuliah mereka tahun 1980. (Foto: Ist)
Video viral pengakuan penjual obat daftar G di Pondok Ranggon yang diduga menyetor ke oknum polisi Satresnarkoba Polres Metro Jakarta Timur. (Tangkapan layar/Instagram @kabarcibubur24jam)
Presiden Prabowo Subianto melontarkan istilah “Serakahnomics” untuk mengkritik praktik ekonomi yang serakah. Istilah ini dikaji secara linguistik oleh pakar dari Unusia. (Foto: dok. Sekretariat Presiden)
Wakil Gubernur Jakarta Rano Karno saat memberikan keterangan soal maraknya tawuran remaja yang disebut ada yang disetting dan dibiayai, Sabtu (26/7/2025). (Foto: dok. Pemprov DKI)
Presiden Jokowi bersama Mulyono dalam reuni Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980 di Yogyakarta, Sabtu (26/7/2025). (Foto: tangkapan layar)
Tutup