Sabang, Infoaceh.net – Temuan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Aceh kembali menyorot lemahnya pengawasan dan kontrol penggunaan anggaran di lingkungan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sabang.
Salah satu kasus mencuat dari pekerjaan lanjutan pembangunan gedung lift RSUD Sabang yang menelan dana publik sebesar Rp3,27 miliar.
Dari hasil audit, ditemukan kekurangan volume pekerjaan yang berujung pada kelebihan pembayaran senilai Rp57.589.153 dan itu merupakan nilai seharusnya dikembalikan.
Namun hingga penghujung Oktober 2025, rekanan CV AGP yang mengerjakan proyek berdasarkan Kontrak Nomor 31/SP/PEMB_RS/RSUD/DAK/2024 baru menyetor Rp15 juta, alias baru sebagian kecil dari total kerugian negara.
Sisanya, lebih dari Rp42 juta, masih menggantung tanpa kepastian pelunasan.
Inspektur pada Inspektorat Kota Sabang Nouval SSTP MSi membenarkan hal itu.
“Benar, sudah dicicil. STS-nya tadi malam baru diserahkan ke admin inspektorat,” ujar Nouval saat dikonfirmasi via pesan WhatsApp, Rabu, 22 Oktober 2025.
Artinya, dari nilai temuan Rp57 juta, rekanan baru menunaikan tanggung jawabnya sebesar Rp15 juta saja, angka yang menunjukkan minimnya keseriusan dalam menindaklanjuti temuan BPK.
Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), Muhammad Rasyid, hingga kini tak bisa dikonfirmasi. Pesan yang dikirim wartawan hanya berstatus centang satu, tanpa respons.
Hal serupa juga terjadi pada Pengguna Anggaran (PA) sekaligus Direktur RSUD Sabang, dr Cut Meutia Aisywani SpA MSi.Med yang masih memblokir wartawan sehingga sulit dimintai keterangan.
Sikap bungkam para pejabat terkait ini justru mempertegas adanya indikasi lemahnya tanggung jawab dan pengawasan atas penggunaan anggaran negara di bawah komando direktur rumah sakit.
Padahal, sebagai penanggung jawab tertinggi kegiatan, direktur semestinya menjadi garda terdepan dalam memastikan pekerjaan berjalan sesuai spesifikasi, kontrak dan prinsip akuntabilitas publik.
Kenyataannya, proyek senilai miliaran rupiah itu justru menyisakan persoalan serius: pekerjaan tak sesuai volume, uang negara bocor, dan tanggung jawab pejabat menguap.
Kondisi tersebut jelas bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang perubahan atas Perpres Nomor 16 Tahun 2018 mengenai Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, khususnya Pasal 7 ayat (1) huruf f yang mewajibkan setiap pihak mencegah pemborosan dan kebocoran keuangan negara.
Sayangnya, prinsip itu tampak hanya menjadi hiasan di atas kertas di lingkungan RSUD Sabang.
Audit BPK membuktikan bahwa pengawasan internal berjalan tumpul, tanggung jawab longgar, dan kepatuhan terhadap aturan hanya sebatas formalitas.