BANDA ACEH — Penyekatan dan pemeriksaan sertifikat vaksinisasi Covid-19 yang dilakukan petugas di beberapa pos penyekatan di Aceh mengingatkan masyarakat Aceh pada masa konflik.
“Secara tidak langsung upaya penyekatan untuk kendaraan lintas kabupaten/kota di Aceh seperti yang dilakukan di pos penyekatan Leupeung, Lambaro dan lainnya mengingatkan kita masyarakat Aceh kepada masa-masa konflik. Di masa konflik masyarakat yang melintas wajib membawa KTP merah putih dan harus menunjukkannya ketika pemeriksaan oleh aparat di pos-pos, saat ini masyarakat yang melintas diwajibkan membawa surat atau kartu vaksin. Seakan-akan kartu/surat bukti vaksin saat ini menyangkut dengan nyawa seseorang, sama seperti KTP merah putih di masa konflik,” ungkap Ketua Yayasan Aceh Kreatif Delky Nofrizal Qutni kepada media, Senin (12/7).
Menurut Delky, pengaktifan posko penyekatan sebagaimana termaktub dalm Instruksi Gubernur Aceh Nomor 12 tahun 2021 tanggal 6 Juli 2021 tentang pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro terlalu lebay.
“Terkesan ada pemaksaan dari Gubernur Aceh bahwa setiap masyarakat harus divaksin. Padahal yang patut diingatkan oleh Gubernur Aceh, bukannya masyarakat tidak mau untuk vaksin, namun masyarakat malah berpikir dan mengambil iktibar dari Gubernur Aceh sendiri yang terlihat sangat rajin vaksin malah terkena long covid-19 ketika KPK ke Aceh. Sehingga menunjukkan ikut melakukan vaksinisasi atau tidak sama saja, tidak menghindarkan masyarakat dari Covid-19. Terlepas bahwa ada rumor bahwa long covid-19 untuk menghindari penyelidikan KPK, namun sebagai publik figur di Aceh, kondisi Gubernur Nova Iriansyah tersebut memberi kesan tersendiri di masyarakat,” katanya.
Delky menyarankan agar Pemerintah Aceh tidak melakukan pemaksaan dalam hal vaksinisasi, namun bagaimana membangkitkan kesadaran dan antusias masyarakat untuk mengikuti vaksinisasi.
“Penyekatan yang dilakukan melalui pos-pos dengan menyuruh balik penumpang dan pengemudi angkutan itu terkesan sebagai bentuk pemaksaan. Padahal kondisi Covid-19 di Aceh tidak seperti di Jawa dan Bali. Ini kan aneh, mestinya gubernur punya cara yang lebih menarik perhatian masyarakat untuk melakukan vaksin tanpa main paksa-paksa gitu,” ujarnya.
Mantan Kabid Advokasi Forum Paguyuban Mahasiswa dan Pemuda Aceh (FPMPA) itu menyebutkan, Gubernur Aceh harus menyadari, masyarakat sudah lelah dengan hal-hal yang berbau pemaksaan seperti itu. Apalagi WHO pun melarang adanya bentuk pemaksaan terkait vaksinisasi.
“Masyarakat Aceh sudah lelah 30 tahun dalam konflik, jangan lagi ada pemaksaan semacam itu yang mengingatkan masyarakat kepada masa konflik. Ajak masyarakat ikut vaksin dengan lebih elegan, misalkan dengan memberi doorprize dan sebagainya. Bukan main paksa-paksa bung, justru malah menghadirkan ketidakpuasan yang berujung perlawanan dari rakyat nantinya. Bikin kebijakan yang rasional dan menggugah hati rakyat bukan mengada-ada,” pungkasnya. (IA)