Banda Aceh, Infoaceh.net – Ratusan tenaga kesehatan (nakes) dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh dan Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Aceh menggelar aksi unjuk rasa di halaman Kantor Gubernur Aceh, Selasa pagi (11/11/2025).
Aksi ini digelar sebagai bentuk protes terhadap belum dibayarkannya jasa pelayanan medis tahun 2025 yang hingga kini tak kunjung diterima.
Para nakes yang terdiri dari dokter spesialis, dokter umum, perawat dan tenaga medis lainnya datang mengenakan seragam putih khas rumah sakit masing-masing.
Mereka berkumpul di halaman Kantor Gubernur Aceh sejak pukul 08.50 WIB, membawa spanduk dan selebaran bertuliskan berbagai tuntutan dan aspirasi seperti “Jasa Medis adalah Hak, Bukan Hadiah” dan “Tenaga Kesehatan Juga Manusia.”
Sebelum tiba di lokasi aksi, massa terlebih dahulu berkumpul di halaman Masjid Oman Al-Makmur, Banda Aceh, kemudian berjalan kaki sejauh kurang lebih 800 meter menuju Kantor Gubernur Aceh.
Dalam perjalanan, peserta aksi melantunkan salawat dan seruan damai sambil membawa atribut tuntutan.
Setibanya di halaman Kantor Gubernur Aceh, massa aksi duduk dengan tertib sambil bershalawat dan menunggu pejabat terkait keluar menemui mereka.
Namun hingga aksi berakhir, tidak ada perwakilan Pemerintah Aceh yang datang menemui para tenaga kesehatan.
Pantauan di lapangan menunjukkan, aksi berlangsung damai dan kondusif tanpa ada tindakan anarkis maupun provokatif. Aparat keamanan terlihat berjaga untuk memastikan situasi tetap tertib.
Akar Masalah: Kebijakan Pemerintah Aceh yang Tidak Adil
Aksi ini merupakan puncak dari kekecewaan panjang tenaga kesehatan terhadap kebijakan Pemerintah Aceh tahun 2024 yang mewajibkan rumah sakit memilih antara menerima Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) atau Jasa Medis.
Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 15 Tahun 2024 tentang Pemberian Tambahan Penghasilan Bagi Aparatur Sipil Negara, serta Keputusan Gubernur Aceh Nomor 800.1.5/715/2024 tentang Penetapan Basic dan Besaran Tambahan Penghasilan PNS di Lingkungan Pemerintah Aceh.
Pengesahan aturan tersebut dinilai tergesa-gesa dan tidak mempertimbangkan kompleksitas kerja para tenaga medis di tiga rumah sakit milik Pemerintah Aceh — RSUD dr. Zainoel Abidin (RSUDZA), RS Jiwa Aceh,l dan RSIA Aceh.
“Langkah pemerintah yang memaksa kami memilih antara TPP dan jasa medis sangat tidak bijak. Padahal sumber jasa medis berasal dari klaim BPJS dan asuransi kesehatan lainnya, sesuai UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan Permenkes Nomor 28 Tahun 2014,” ujar salah satu perwakilan nakes RSJ Aceh di sela aksi.
Kebijakan tersebut berdampak besar terhadap kondisi kerja di rumah sakit. Sejak Maret 2025, suasana kerja di RSJ dan RSIA dilaporkan terganggu karena fokus tenaga kesehatan terpecah. Kualitas pelayanan pun ikut menurun karena tenaga medis merasa haknya tidak dihargai.
Pihak rumah sakit sempat berupaya mencari jalan keluar dengan menemui Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh. Namun hasilnya nihil — Pemerintah Aceh tetap bersikeras agar rumah sakit memilih salah satu: TPP atau jasa medis.
Akhirnya, RSJ dan RSIA memilih TPP agar operasional tidak terhenti, namun keputusan ini membuat jasa medis para tenaga kesehatan tertumpuk di kas rumah sakit.
Sementara parameter pemberian TPP hanya berdasarkan kelas jabatan dan absensi, tanpa memperhitungkan beban kerja dan risiko tinggi yang dihadapi tenaga medis.
Pada bulan September dan Oktober 2025, perwakilan RSJ dan RSIA kembali menemui pejabat Pemerintah Aceh untuk membahas revisi aturan tersebut. Bahkan mereka telah mengajukan permohonan Forum Group Discussion (FGD) untuk meninjau ulang keputusan gubernur terkait TPP.
Namun, hingga aksi unjuk rasa ini digelar, tidak ada respons konkret dari Sekda Aceh maupun Tim TPP Pemerintah Aceh.
Ironisnya, menurut para nakes, Aceh menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang melarang rumah sakit provinsi menyalurkan jasa medis kepada tenaga kesehatannya, padahal secara nasional hal itu diatur dan diperbolehkan.
“Ketika kami terus bekerja untuk merawat pasien dan menyelamatkan nyawa, hak kami justru tidak diakui. Jasa medis bukan sekadar angka, tapi bentuk penghargaan terhadap kemanusiaan dan profesionalisme kami,” ujar seorang dokter RSIA yang ikut berorasi.
Melalui aksi damai ini, para tenaga kesehatan menegaskan tiga tuntutan utama:
- Pembayaran penuh jasa pelayanan medis tahun 2025 yang tertunggak.
- Kejelasan waktu pencairan hak-hak tenaga kesehatan.
- Revisi aturan gubernur yang dinilai diskriminatif terhadap profesi medis.
Mereka berharap Pemerintah Aceh segera menindaklanjuti aspirasi ini agar pelayanan rumah sakit bisa kembali fokus pada pasien tanpa dibayangi ketidakpastian hak.
“Kami bukan menuntut kemewahan, kami hanya menuntut keadilan. Karena tenaga kesehatan juga manusia,” tegas perwakilan nakes dalam orasi penutup aksi di halaman Kantor Gubernur Aceh.



