BANDA ACEH – Sejumlah pekerja pada mesin Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milik PT Solusi Bangun Andalas (SBA) di Lhoknga mendatangi Kantor Koalisi NGO HAM Aceh, Senin, 4 Oktober 2021.
Mereka melaporkan tindakan PT BEST sebagai pihak ketiga penyedia jasa pengelolaan mesin PLTU untuk PT SBA terkait hak 52 pekerja, diduga akan dihapuskan walau sudah memiliki sertifikat level 3 dan 4 untuk pengelolaan mesin PLTU PT SBA Lhoknga.
Perwakilan 52 pekerja, Devrian, menyampaikan tujuan mereka mengadukan kasusnya ke Koalisi NGO HAM Aceh sebagai bentuk upaya mencari keadilan dan memperjuangkan hak-hak para pekerja.
“Kami 52 orang ini adalah putra lokal Aceh yang sengaja dipekerjakan bersama 15 orang tenaga kerja asing untuk dapat menyerap ilmu dan keahlian dalam menjalankan mesin PLTU milik PT SBA. Yang kita sayangkan ketika kontraktor penyedia berpindah tangan ke PT BEST malah membuka rekrutmen baru tanpa mempertimbangkan kemampuan dan sertifikat yang kami miliki. Disinilah kami sedih dan bertanya dalam hati, apakah negara tidak dapat memberikan perlindungan tehadap kemampuan kami putra daerah. Apakah pekerjaan dan pengetahuan baru diakui hanya milik orang Jakarta sana,” ujarnya, Selasa (5/10).
Menurut Devrian, semua upaya telah ditempuh pihaknya mulai dari tingkat mukim sampai DPRA. Bahkan, DPRA telah menerbitkan rekomendasi agar pihak perusahaan melakukan tindakan yaitu “Pada saat pengalihan/rekrutmen ketenagakerjaan tanpa adanya syarat apapun yang harus dipenuhi oleh semua karyawan PT LNET sebanyak 52 karyawan”.
Artinya, bentuk pengalihan pekerja yang seharusnya dilaksanakan pihak perusahaan.
Namun, kata Devrian, PT BEST sebagai pihak pengganti PT LNET untuk melanjutkan kontrak kerja dengan PT SBA mengabaikan rekomendasi tersebut.
“Sehingga harapan kami Koalisi NGO HAM Aceh sebagai sebuah lembaga swadaya masyarakat yang tidak diragukan lagi eksistensinya, dapat menyelesaikan persoalan yang kami laporkan tersebut,” tuturnya.
Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad, menyambut kedatangan perwakilan karyawan PT LNET tersebut.
“Hari ini kami terima laporan, kami analisa terlebih dahulu berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Intinya kami akan tetap melakukan yang terbaik jika adanya kesenjangan akibat kewenangan yang dimiliki pihak perusahaan tersebut yang dapat melahirkan kesewenang-wenangan terhadap hak-hak para pekerja,” ujarnya.
Zulfikar menyebut langkah-langkah hukum juga akan pihaknya persiapkan sembari melakukan kajian hukum terhadap permasalahan tersebut.
Namun sebelum langkah-langkah tersebut pihaknya selesaikan berdasarkan mekanisme hukum yang ada, juga meminta DPRA dapat menunjukkan eksistensinya dan mengambil tindakan yang diperlukan terhadap pengabaian rekomendasi yang diterbitkan tersebut.
“Begitu pula pihak Gubernur Aceh sebagai eksekutif agar tidak hanya duduk santai melihat permasalahan yang terjadi. Perlu adanya tindakan nyata yang harus dilakukan sehingga hak-hak para pekerja tersebut dapat tercapai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tegas Zulfikar. (IA)