Banda Aceh — Pihak Rektorat Universitas Syiah Kuala (USK) diduga melakukan ‘teror’ terhadap delapan rumah warga dengan cara memutus aliran listrik dan PDAM ke rumah warga yang akan dirubuhkan, pada Sabtu (30/10).
Disamping itu juga hal sangat meresahkan warga dimana pihak USK memasang spanduk yang berisikan antara lain.
Pada poin satu, lahan Universitas Syiah Kuala (USK) seluas 1.324.300 M2 berdasarkan pada Sertifikat Hak Pakai Nomor: 01.01.04.12.4.00001, tanggal 14 Desember 1992.
Kedua dalam rangka pembangunan gedung FKIP USK, maka perlu dilakukan penghapusan/pembongkaran 8 unit rumah dinas yang berlokasi di Sektor Timur, Kopelma Darussalam.
Lalu, ketiga proses penghapusan/pembongkaran rumah dinas USK dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor : 83/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Negara.
Kemudian, sosialisasi penghapusan/pembongkaran 8 unit rumah dinas untuk pembangunan gedung FKIP sudah dilakukan sejak tahun 2018.
Kelima, Universitas Syiah Kuala sudah menawarkan relokasi bagi pegawai aktif/pensiunan/duda atau janda pensiunan yang terdampak dari pembangunan gedung FKIP USK.
Terakhir atau poin keenam, mohon dukungan seluruh masyarakat agar pengembangan kampus Jantong Hatee Rakyat Aceh ini dapat berjalan dengan lancar.
Ketua Forum Warga Kopelma Darussalam Otto Syamsuddin Ishak, menyatakan pemasangan papan pengumuman oleh pihak USK tidak dapat diterima oleh warga, maka warga juga menempelkan spanduk tandingan yang dipasang bersebelahan dengan spanduk USK.
Adapun isi spanduk itu di antaranya, Forum Warga Kopelma pemberitahuan Rektor USK melawan hukum, Sertifikat hak pakai USK diatas lahan erfpacht yang menjadi hak milik pemerintah Aceh dan tak boleh dialihkan, Agr 243a/VII (1961).
Kemudian kedua tuntutan warga, penghapusan dan pembongkaran bertentangan dengan SK Gubernur Aceh Nomor 012/301/1986.
Ketiga, proses pembongkaran/penghapusan rumah dinas bertentangan dengan SK Gubernur No. 012/301/1986 dan Qanun Cagar Budaya Kota Banda Aceh Nomor 2 Tahun 2018.
Kempat, sosialisasi pembongkaran dilakukan tanpa izin Gubernur Aceh, SK Nomor 012/301/1986 dan bertentangan dengan surat DPRA Nomor 160/443 Tahun 2021.
Kelima, relokasi ditawarkan setelah adanya perlawanan dari warga dan terakhir keenam warga tidak mendukung karena kebijakan yang tidak beradab tersebut.
Menurut Otto, kebijakan pihak Rektorat USK dalam proses pengusuran delapan rumah ini diduga sarat kepentingan Rektor USK semata, seharusnya di akhir masa jabatannya memberikan yang terbaik, bukannya mementingkan egosentrisnya saja.
“Anda (Rektor) terlahir sebagai Akademisi yang bekerja di USK, ada historis sejarah kelahiran Kopelma Darussalam, Anda tidak menghormati kebijakan-kebijakan yang telah diputuskan oleh pemimpin-pemimpin Aceh terdahulu maupun saat ini,” tegas Otto.
Selanjutnya, Otto mengatakan ada sejumlah peristiwa yang ironis, berdasarkan keluhan warga petugas, PDAM mendatangi delapan rumah warga untuk memutuskan aliran air, hal tersebut dibenarkan oleh pihak petugas PDAM.
Sedangkan rumah tersebut masih ada orangnya dan membayar rekening PDAM.
“Kami menilai ini bentuk teror terhadap warga Kopelma, dan juga aliran listrik didatangi oleh petugas untuk dicabut, namun mendapat perlawanan makanya diurungkan,” jelasnya.
Sejauh saat ini, Otto bersama warga menolak penggusuran bangunan delapan rumah warga Kopelma, karena secara adab maupun nomenklaturnya juga tidak kuat terkait pengusuran tersebut. (IA)