BANDA ACEH — Dana Bantuan Operasional Pesantren (BOP) untuk pondok-pondok pesantren yang dikucurkan Kementerian Agama (Kemenag) RI pada tahun 2020 sebesar Rp 2,5 triliun, dan sebanyak Rp 7 miliar lebih mengalir ke pesantren Provinsi Aceh.
Namun di lapangan, ditemukan banyak penyaluran yang diduga salah sasaran dan dikorupsi.
Dilansir dari BBC News Indonesia, satu bangunan terletak tak jauh dari jalan raya lintas Banda Aceh-Medan. Sebuah papan nama berwarna biru dengan tiang merah yang terpancang di tepi jalan menjadi penanda, bahwa di ujung jalan sana ada Dayah Ta’alimil Mubtadi.
Dayah, adalah sebutan untuk sekolah Islam atau pesantren di Aceh.
Ketika didatangi pekan lalu, sejumlah orang terlihat sibuk membangun aula mengaji dari kayu.
Mereka ini bukan pekerja bangunan, melainkan para santri di dayah tersebut.
Para santri bergotong royong membangun aula untuk mengaji dari kayu. Dana bantuan diperoleh dari Jepang, kata pengelola.
Awal tahun 2021, Yayasan Ta’alimil Mubtadi menjadi pemberitaan media lokal dan nasional karena kondisinya yang tidak layak. Sejumlah bangunan yang terbuat dari kayu nyaris roboh karena lapuk dimakan usia.
Pada Maret di tahun yang sama, pesantren itu mendapatkan bantuan dari Jepang.
Dengan dana dari Jepang itu lah, pembangunan balai pengajian tadi dilakukan. Sebelumnya, sebuah musala dan dua bangunan untuk bersekolah juga didirikan dengan bantuan itu.
Dayah ini sudah berdiri sejak 23 tahun lalu, menurut pengelolanya. Namun namanya tak tertulis sebagai pesantren yang berhak menerima dana Bantuan Operasional Pesantren (BOP) dari Kemenag pada 2020.
Dalam laporan terbarunya Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan indikasi penyimpangan dan korupsi dalam penyaluran BOP yang nilainya mencapai Rp 2,5 triliun.
Tak lama setelah laporan itu dirilis, Kementerian Agama mengatakan sejumlah pelaku penyelewengan dana BOP telah dijatuhi hukuman pidana.
“Kementerian Agama berprinsip zero tolerance terhadap siapa pun yang hendak menyelewengkan dana BOP,” tulis keterangan itu.
‘Mandi tak nyaman, tidur was-was’
Kondisi kamar-kamar tidur untuk santriwati di Dayah Ta’alimil Mubtadi tampak memprihatinkan. Tujuh kamar yang terletak berdempetan dan bercat warna hijau itu dipisahkan dengan dinding kayu yang sudah bolong-bolong.
“Ada rayap, banyak papan yang sudah robek,” kata Aulia Zikri, santriwati yang sudah satu tahun mondok di Ta’alimil Mubtadi.
Atap kamar tempat mereka tidur bersama yang terbuat dari seng telah bocor di sana-sini.
“Tak nyaman, kalau hujan bocor. Tapi karena kita kan berniat untuk mencari ilmu, ya kita nikmati saja suasana begini,” kata Sainu, salah satu santriwati.
Kondisi serupa juga terjadi di balai mengaji. Kitab-kitab agama basah karena atap tiris.
“Dingin, tidak enak. Ada atap yang bocor, [jadi] ketika mengaji, jatuh air ke atas kitab,” Aulia melanjutkan.
Sementara itu kamar mandi untuk mereka, bangunannya masih setengah jadi. Dengan dinding bata yang baru berdiri separuh, bila ada santri yang mandi, akan mudah bagi orang lain untuk mengintip.
Sainu, santriwati yang baru dua tahun mondok, mengatakan mereka tidak nyaman dengan kondisi ini. Tapi mereka juga merasa tidak ada pilihan lain.
“Kalau mandi, ya tidak nyaman. Terus kalau tidur juga waswas. Tapi selama ini tidak ada yang mengintip,” kata Sainu.
Saat ini, Dayah Ta’alimil Mubtadi yang terletak di Desa Pucok Alue, Kecamatan Baktiya di Aceh Utara memiliki 90 orang santri yang mondok di lokasi untuk sekolah dan mengaji.
Mereka menghuni kompleks pesantren dengan tujuh kamar untuk santri perempuan, empat kamar santri laki-laki, dan lima balai pengajian.
Abdurrahman, pimpinan Dayah Ta’alimil Mubtadi, mengatakan biaya operasional pesantren selama ini berasal dari bantuan masyarakat sekitar dan uang pribadinya.
“Tidak saya terima [BOP]. Kalau ada terima, kan, ada tanda tangan. Tapi tidak ada,” kata Abdurrahman kepada wartawan di Aceh, Hidayatullah yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Abdurrahman mengaku terpaksa berutang hingga Rp 40 juta untuk membangun musala di dayah tersebut.
“Utang kepada pemilik ketam kayu dan seng untuk musala. Kalau ada uang, saya mau bayar. Tapi kalau tidak dapat, ya sudah lah.”
Tak beroperasi lagi
Dalam laporan ICW, beberapa kecamatan administratif yang ditemukan meliputi “identitas pesantren yang tidak lengkap, pesantren fiktif, hingga jumlah bantuan yang tidak sesuai dengan kategori pesantren”.
BBC News Indonesia mendatangi dua pesantren yang namanya tertulis dalam laporan tersebut dan mendapati keduanya saat ini sudah tidak beroperasi.
Kondisinya sepi, bahkan satu di antaranya sudah mulai dipenuhi semak belukar. Dinding ruang-ruang kelas dipenuhi sarang laba-laba.
Dayah Raudatul Ulum Diniyah Islamiah (Rudi), terletak di Desa Paya, Kecamatan Tanah Luas, Kabupaten Aceh Utara.
Dalam laporan, pesantren ini tertulis mendapatkan BOP sebesar Rp12,5 juta.
Pimpinan Ponpes Rudi, Fazal, mengakui bahwa dia mendapatkan dana BOP sejumlah itu. Namun belakangan, dia mengatakan baru menyadari bahwa jumlah yang diterima seharusnya Rp25 juta.
“Setelah saya membaca, saya sangat berkeyakinan ada orang yang memangkas dana ini, karena pada dasarnya jumlahnya Rp25 juta,” kata Fazal.
Di sisi lain, Fazal juga mengakui bahwa kini pesantrennya tidak aktif lagi.
“Di awal [pandemi] Corona, setelah santri kelas tiga SMA dan SMP lulus, kami tidak membuka pendaftaran untuk sementara. Insya Allah awal tahun 2023 [dibuka lagi],” sebut dia.
Pada 2020, siswa SMA lulus sekolah pada Mei dan SMP pada Juni. Sementara dana BOP dari Kemenag RI di tahun itu mulai dicairkan pada Agustus hingga November dalam tiga tahap.
Pondok Pesantren Fahmi Ulum, yang terletak di Desa Blang Cut, Kecamatan Meurah Mulia di Aceh Utara, mendapatkan dana bantuan sebesar Rp 40 juta.
Basyarullah, pimpinan ponpes tersebut, mengatakan dana yang diterimanya itu dipakai untuk pembuatan MCK.
“Sudah terlaksana dan sudah bisa digunakan sekarang,” kata Basyarullah.
Dayah Fahmi Ulum, Aceh Utara.
Saat BBC News Indonesia mendatangi ponpes tersebut, bangunan dayah terlihat sepi, tak ada santri. Basyarullah mengaku pesantrennya tidak aktif lagi karena terdampak pandemi.
“Memang benar [pesantren mati], karena kemarin itu Covid yang sudah dua tahun. Kita pun di sini tidak banyak santrinya, cuma 20 orang,” jelas Basyarullah.
Namun menurut keterangan warga sekitar, Ponpes Fahmi Ulum, sudah tak lagi beroperasi sejak tahun 2007. Abu Bakar, warga itu, pun mempertanyakan mengapa dana BOP diberikan kepada pesantren yang “tinggal nama” itu.
“Kalau kejadian di lapangan seperti itu, kami menduga ada permainan,” tuduh Abu Bakar.
Laporan ICW menyebutkan, selain kecacatan administratif, penyalahgunaan dalam penyaluran BOP Ponpes juga mencakup “praktik pemotongan, penyalahgunaan BOP untuk utang, hingga kampanye politik”.
Dari lima daerah yang menjadi pantauan ICW — Aceh, Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Banten — potensi kerugian terbesar akibat ketidaksesuaian penyaluran terdapat di Aceh. Nilainya mencapai Rp 7 miliar.
‘Cabut izin ponpes mati’
Ketua Organisasi Santri Rabithah Thaliban Aceh (RTA) Aceh Utara, Hafis Almansyuri, mengatakan “kurangnya pengawasan membuat pesantren yang sangat membutuhkan dana BOP tidak mendapatkan, sementara ponpes yang sudah tidak aktif lagi justru menerima bantuan”.
“Saran saya, Kemenag RI lebih berhati-hati dalam mengawasi anggaran yang disalurkan,” kata Hafis.
Keterangan gambar,
Dalam laporan ICW, sejumlah pesantren tak aktif seperti Dayah Fahmi Ulum di Aceh Utara, menerima dana BOP.
Senada, Sekretaris KNPI Aceh Utara Zulfadli meminta Kemenag membentuk satgas khusus untuk isu dugaan korupsi dana BOS ini.
“Ini sangat mencoreng wajah dan citra pesantren. Tempat dibentuk jiwa-jiwa intelektual dan khususnya spiritual, tapi malah menjadi periuk bagi sebagian orang,” kata Zulfadli.
Zulfadli juga meminta instansi terkait untuk mencabut izin pesantren yang tidak aktif tapi masih rajin menerima bantuan.
“Kalau bisa dicabut SKT [Surat Keterangan Terdaftar]-nya, dibubarkan atau dibekukan saja,” ujar dia.
Menanggapi laporan ICW tentang penyelewengan BOP di Provinsi Aceh, Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kemenag Aceh Dr Iqbal Muhammad, ketika dihubungi di awal Juni mengaku belum memiliki data cukup.
“Yang pertama, penyaluran dilakukan di tahun 2020. Kedua, karena penyaluran tidak dilakukan di kantor wilayah. Jadi saya tidak punya datanya,” kata Iqbal Muhammad.
Kendati demikian, kata Iqbal, pihaknya mengaku akan melakukan upaya verifikasi atas temuan ICW.
Temuan ini, sebut dia, menjadi masukan untuk mengantisipasi agar kejadian serupa tidak berulang.
“Seharusnya kita terlibat dari awal, tapi karena ini domain pusat, semua dilakukan di sana.
“Dari laporan yang kami terima, proses itu sudah dilakukan secara maksimal, termasuk pengawasan dari tim Irjen dan juga dari BPKP dan dari BPK sendiri,” jelas Iqbal. (IA)