Suara Korban Pelanggaran HAM Simpang KKA: 20 Tahun Damai Aceh, Pemulihan Masih Jauh dari Harapan
Namun, pengakuan tersebut belum diikuti oleh tindakan nyata dalam bentuk reparasi menyeluruh. Negara memang menjanjikan pemulihan psikologis hingga perbaikan ekonomi korban, tetapi implementasinya di lapangan masih minim.
Korban masih ragu negara akan benar-benar menunaikan semua hak mereka, apalagi membawa pelaku ke pengadilan.
“Negara tidak boleh memaafkan pelaku, sebab itu adalah hak korban,” ujar Murtala.
Sekretaris FK3T-SP.KKA, Yusrizal (44), menambahkan bahwa hingga kini pemerintah belum memiliki program khusus untuk pemulihan trauma korban konflik. Ia sendiri merupakan salah satu penyintas yang terus berjuang memulihkan diri dan membantu sesama korban.
“Korban konflik dipaksa berdamai dengan masa lalu yang tidak pernah dipulihkan. Banyak yang mengalami gangguan mental, namun tidak ada program pemulihan,” tegasnya.
Minimnya Perhatian, Kurangnya Data, dan Ketimpangan Bantuan
Yusrizal juga menyoroti minimnya pendataan terhadap korban konflik, yang menyebabkan bantuan kerap tidak tepat sasaran.
Bahkan, ditemukan diskriminasi dalam distribusi bantuan antara laki-laki dan perempuan.
Sementara itu, dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh yang sangat besar seharusnya bisa dialokasikan untuk program rehabilitasi korban konflik.
Namun hingga kini, tidak ada rencana induk (masterplan) yang secara khusus mengatur pemulihan korban.
“Aceh seharusnya memiliki rencana pemulihan menyeluruh, termasuk pembangunan museum memorial di lokasi-lokasi tragedi HAM berat untuk merawat ingatan dan menguatkan perdamaian,” tambah Murtala.
Tuntutan Jelas: Keadilan dan Pemulihan
FK3T-SP.KKA menyerukan agar momentum 20 Tahun Damai Aceh pada 15 Agustus 2025 dijadikan sebagai titik balik.
Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat didesak:
1. Menyediakan anggaran khusus untuk pemulihan korban konflik;
2. Memastikan proses peradilan bagi pelaku pelanggaran HAM berat
3. Membangun ruang memorial di lokasi tragedi HAM
4. Merancang kurikulum sejarah konflik Aceh agar generasi muda memahami masa lalu bangsanya.
“Tanpa pemulihan, korban akan terus merasa diabaikan. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal keadilan dan kemanusiaan,” tutup Murtala.