Tambang Emas KPPA di Aceh Barat Beroperasi Ilegal, Bupati dan DPRK Jangan Tutup Mata
-
Forbina Desak Polda Aceh dan KLHK Usut Kasus RKAB KPPA
Banda Aceh, Infoaceh.net – Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina) menilai kasus tambang emas ilegal yang melibatkan Koperasi Putra Putri Aceh (KPPA) di Kabupaten Aceh Barat merupakan potret lemahnya pengawasan pemerintah daerah.
Pasalnya, sejak 2023 KPPA tidak lagi memiliki Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang menjadi syarat utama dalam aktivitas pertambangan.
Direktur Forbina, Muhammad Nur, SH menegaskan tanpa RKAB, segala aktivitas produksi tambang yang dilakukan KPPA adalah ilegal.
“Tanpa RKAB, tidak boleh ada aktivitas tambang. Itu jelas melanggar aturan pertambangan. Jika dibiarkan, maka Bupati dan DPRK ikut menanggung kesalahan,” ujarnya, Sabtu (14/9).
Forbina mempertanyakan bagaimana aktivitas tambang KPPA masih bisa berjalan meski dokumen wajib tersebut tidak dimiliki sejak 2023.
“Di mana Bupati Aceh Barat, DPRK, bahkan Gubernur Aceh? Apakah mereka tidak tahu, atau sengaja membiarkan?” kritik Muhammad Nur.
Ia juga menyinggung potensi kerugian negara dan daerah. “Kalau produksi tetap berjalan tanpa RKAB, maka jelas daerah kehilangan hak PAD (Pendapatan Asli Daerah). Negara dirugikan, rakyat ditipu, sementara investor pun jadi korban karena modal mereka terjebak dalam operasi ilegal,” tegasnya.
Forbina menilai sikap diam pemerintah daerah dan DPRK semakin memperburuk situasi.
“Bukankah mereka punya kewajiban mengawasi kepentingan rakyat dan tata kelola tambang yang sesuai aturan? Kenapa justru membisu?” tambahnya.
Selain itu, Forbina juga mempertanyakan kinerja Inspektur Tambang dan Surveyor Produksi.
“Bagaimana mungkin aktivitas tambang tanpa RKAB bisa berlangsung selama dua tahun tanpa hambatan? Apakah mereka menutup mata?”
Atas kondisi tersebut, Forbina mendesak Polda Aceh dan Gakkum KLHK segera turun tangan untuk mengusut tuntas perkara ini.
“Jangan biarkan tambang emas ilegal berkedok legalitas setengah hati merusak wibawa hukum dan menipu rakyat,” pungkas Muhammad Nur.