Transaksi Fee Proyek Pakai Uang Tunai, Perlu OTT Ungkap Korupsi di Aceh
Banda Aceh, Infoaceh.net – Praktik korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di Aceh sulit diungkap tanpa adanya Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Menurut Koordinator Transparansi Tender Indonesia (TTI), Nasruddin Bahar, banyak transaksi yang terjadi dalam proses penganggaran hingga pelaksanaan proyek menggunakan uang tunai dan dilakukan secara tertutup, sehingga menyulitkan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk mengusutnya secara tuntas.
“Selama ini, praktik korupsi di sektor pengadaan sulit dibuktikan kecuali melalui OTT, seperti yang terjadi di Sumatera Utara (Sumut). Tanpa OTT, hampir mustahil terbongkar karena sistemnya rapi dan tertutup,” ujar Nasruddin, Senin (28/7/2025).
Ia menjelaskan bahwa dana pokok-pokok pikiran (pokir) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menjadi salah satu titik rawan korupsi. Setiap anggota DPRA disebut memiliki kewenangan menitipkan anggaran kepada Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) tertentu, yang kemudian dijadikan proyek atau kegiatan di dinas terkait.
“Setelah anggaran disepakati dengan Kepala SKPA, kemudian dimasukkan ke dalam Rencana Kegiatan RAPBA, dibahas di paripurna, dan disahkan dalam APBA. Setelah itu, anggota DPRA tinggal meminta daftar paket sesuai dana yang dititip, lalu menunjuk koordinator untuk berhubungan dengan pejabat pengadaan,” jelasnya.
Koordinator yang ditunjuk berperan sebagai “perpanjangan tangan” anggota dewan, termasuk dalam menunjuk kontraktor pelaksana.
Dalam praktiknya, fee proyek diserahkan kepada koordinator, dan anggota dewan berpura-pura tidak tahu-menahu.
“Inilah modus yang terjadi selama ini. Semua berlangsung di bawah tangan, tanpa dokumen resmi, dan diserahkan secara tunai,” tegas Nasruddin.
Proyek Minim “Cashback” Diabaikan
Nasruddin juga menyoroti kecenderungan anggota dewan yang hanya menitipkan dana pokir pada dinas-dinas dengan potensi “cashback” atau imbal balik tinggi.
Sebaliknya, proyek sosial seperti pembangunan rumah dhuafa jarang diminati karena dianggap tidak menguntungkan.
“Tak ada satu pun dari 2.000 rumah layak huni yang dibiayai dana pokir. Para anggota lebih suka menempatkan anggaran di dinas seperti Pendidikan Aceh, Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pertanian, Koperasi, dan UKM, karena pengadaannya besar dan rawan permainan,” ungkapnya.