Izin masuk wilayah hanya diberikan untuk mereka yang dapat memperlihatkan surat keterangan bebas COVID-19 berbasis pemeriksaan swab (uji reverse transcription polymerase chain
reaction/rt-PCR) dari instansi berwenang. Di perbatasan atau setiap titik masuk provinsi
Aceh harus dilaksanakan uji rt-PCR. Sebagai alternatif, mereka tanpa surat keterangan bebas COVID-19 wajib menjalani karantina saat ketibaan di tempat yang ditunjuk
pemerintah provinsi/kabupaten/kota dan menjalani protokol karantina sampai selesai.
7. Mendukung diberlakukannya kembali pembatasan aktivitas malam mulai pukul 22.30 WIB sampai dengan 05.00 WIB untuk mengurangi interaksi yang berisiko terhadap
penularan COVID-19. Selain itu, terus mendorong ditegakkannya aturan physical distancing dan penggunaan masker di tempat-tempat keramaian seperti pasar, swalayan, tempat pesta, warung kopi, dan tempat ibadah. Pemerintah kabupaten/kota dapat lebih kreatif dan inovatif untuk menerapkan protokol kesehatan dengan mengembangkan
model-model penerapan di beberapa tempat keramaian yang terpilih.
8. Meningkatkan kapasitas penanganan COVID-19 di Aceh dalam hal penelusuran kontak dekat (contact tracing), kapasitas uji swab (rt-PCR), kapasitas karantina/isolasi, dan kapasitas perawatan pasien COVID-19, termasuk rumah sakit darurat (contoh Wisma Atlit di Jakarta) yang menampung pasien dengan kondisi ringan dan sedang. Hal ini juga perlu diikuti dengan penyediaan Alat Pelindung Diri (APD) yang cukup, pengaturan jam kerja yang optimal, dan pengamanan ekstra saat bertugas di luar fasilitas medik utama, dan pemberian insentif yang cukup bagi para tenaga kesehatan penangangan COVID-19.
9. Mendukung rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) untuk menunda proses pembelajaran di sekolah dan madrasah secara tatap-muka di seluruh wilayah Aceh dan
proses pembelajaran dilaksanakan secara daring selama semester ini. Dalam beberapa kasus baik di Indonesia maupun di luar negeri, pembukaan sekolah dan madrasah telah menciptakan klaster-klaster baru penularan COVID-19.