BANDA ACEH — Kebijakan zpemerintah Aceh yang mewajibkan untuk menginstal aplikasi “PeduliLindungi” agar bisa memasuki perkantoran di lingkungan Pemerintah Aceh dan menunjukkan sertifikat vaksin, dinilai merupakan kebijakan over acting yang mengedepankan kekuasaan.
Penilaian itu disampaikan oleh Pengamat Kebijakan Publik Aceh Dr Nasrul Zaman ST MKes, Rabu (3/11). Menurutnya, kalau kebijakan tersebut sebagai upaya meningkatkan presentasi cakupan vaksinasi covid-19 maka itu menunjukkan Satgas Covid-19 Aceh minim kreativitas dan tidak mampu mempunyai strategi yang efektif dan cerdas.
“Kalaulah mau belajar dari beberapa dayah yang mampu mendorong seluruh santri-santrinya mendapatkan vaksinasi, tentulah Satgas Covid-19 bisa melahirkan strategi efektif yang mampu meningkatkan partisipasi warga masyarakat lainnya untuk berbondong bondong mengantri vaksinasi,” ujar Nasruk Zaman dalam keterangannya.
Disebutkannya, hal yang harus diingat bahwa semangat paternalistik masih cukup kuat pada warga Aceh terutama yang berada di wilayah perkampungan, yang sampai sejauh ini mereka enggan dan menghindar untuk menerima vaksinasi covid-19.
Sehingga optimalisasi menggunakan tokoh agama dan tokoh masyarakat menjadi duta vaksin, harus bisa diciptakan secara sungguh-sungguh selain melakukan sebanyak-banyaknya kerja sama dengan ormas, OKP, kelompok pengajian dan organisasi informal lainnya.
Harus diingat bahwa vaksinasi itu sesuai UU Karantina Kesehatan Nomor 06 tahun 2018, adalah hak warga masyarakat dan bukan kewajiban.
Karenanya siapapun apalagi pemerintah tidak boleh melakukan pemaksaan vaksinasi, meskipun hal itu merupakan upaya untuk menurunkan angka fatality rate covid-19.
“Dari apa yang sejauh ini dilakukan oleh Pemerintah Aceh periode ini dalam upaya penanganan dan pencegahan Covid-19 benar-benar menunjukkan “kedunguan” dan contoh buruk kinerja Satgas Covid-19 di Indonesia,” terangnya. (IA)