Sebut saja beberapa di antara mereka ialah Abu Syekh Mud Blangpidie, Abuya Syekh Muda Waly al-Khalidy, Abu Sulaiman Lhoksukon, Abu Adnan Mahmud Bakongan, Abu Abdullah Ujong Rimba, Abu Wahab Seulimum, Abu Ishaq Ulee Titi, Abu Marhaban Kruengkalee dan banyak ulama lainnya yang merupakan tokoh-tokoh berpengaruh.
Bahkan Abu Ali Lampisang pendiri Madrasah Khairiyah dan Abu Syech Mud Blangpidie adalah murid dan ulama kepercayaan Abu Kruengkalee.
Dalam tiga tahun kebersamaan Abu Kruet Lintang dengan Abu Kruengkalee telah mengantarkan beliau menjadi seorang ulama yang mendalam ilmunya.
Karena sebelum tiba di Kruengkalee, Abu Muhammad Yusuf Kruet Lintang memang telah menguasai berbagai cabang ilmu, sehingga ketika beliau tiba di Kruengkalee beliau sudah alim dan memperdalam kajian keilmuannya kepada Abu Kruengkalee.
Pada tahun 1939, Abu Muhammad Yusuf Kruet Lintang pulang kampung untuk mengabdikan ilmu yang telah dimilikinya.
Setelah mengajar beberapa tahun di dayah yang dipimpin oleh Teungku Usman bin Teungku Mahmud yang merupakan pamannya, pada tahun 1942 beliau kembali belajar kepada seorang ulama besar yang benama Teungku Muhammad Ali pimpinan Dayah Darul Muta’alimin masih dalam kawasan Aceh Timur.
Tidak lama beliau belajar kepada ulama besar tersebut, maka Abu Muhammad Yusuf Kruet Lintang telah diberikan ‘peuneutoh’ oleh Teungku Muhammad Ali untuk melanjutkan kepemimpinan dayah pamannya.
Maka sejak tahun 1943 mulailah Abu Muhammad Yusuf Kruet Lintang memimpin Dayah Darul Muta’alimin. Beliau dengan segenap kesungguhan memimpin dayah tersebut sehingga menjadi salah satu dayah yang diminati oleh para penuntut ilmu.
Selain itu Abu Kruet Lintang adalah seorang ulama kharismatik di wilayahnya yang menjadi panutan dan ikutan masyarakat di Aceh Timur.
Sebagai ulama yang luas cakrawala berpikir, Abu Kruet Lintang merupakan ulama yang santun dan sederhana dalam kehidupannya sehari-hari. Beliau memiliki pandangan-pandangan hukum yang kuat dan kokoh, walaupun demikian beliau menghargai pandangan orang lain.