Sehingga diutuslah dua orang ulama besar ke Aceh Selatan dan Blangpidie. Adapun yang dikirim ke Aceh Selatan adalah Abu Muhammad Ali Lampisang yang dikenal dengan Abu Lampisang sekitar tahun 1921, dan Madrasah Khairiyah ditutup pada 1930 ketika suhu perlawanan para pejuang Bakongan semakin meningkat.
Belanda khawatir dayah akan mengambil peran untuk peperangan tersebut. Adapun ulama yang dikirim ke Blangpidie adalah Abu Syekh T. Mahmud Lhoknga sekitar tahun 1927. Abu Syekh Mahmud membangun sebuah dayah yang dinamakan Dayah Bustanul Huda Blangpidie.
Beliau memimpin Dayah Bustanul Huda hingga wafatnya pada tahun 1966. Dari Abu Syekh Mahmud banyak ulama generasi berikutnya hasil didikan beliau.
Umumnya para ulama dari Labuhan Haji sebelum merantau ke tempat yang lain, mereka pasti belajar di dua dayah besar itu. Contohnya Abuya Syekh Muda Waly, beliau belajar pertama kali pada Dayah Abu Lampisang di Labuhan Haji selama empat tahun, dan selanjutnya belajar pada Abu Syekh Mahmud di Dayah Bustanul Huda Blangpidie.
Selain Syekh Muda Waly, Abu Adnan Bakongan juga demikian, belajar pada Abu Lampisang kemudian melanjutkan ke Abu Syech Mud Blangpidie. Adapun Abu Qamaruddin Lailon yang sedang dibahas merupakan salah satu ulama yang lama belajar pada Abuya Syekh Muda Waly.
Abu Qamaruddin Lailon adalah ulama yang belajar kepada Abuya Muda Waly pada periode awal, beliau satu angkatan dengan para ulama kharismatik lulusan Labuhan Haji periode awal seperti: Abuya Adnan Bakongan, Abuya Jailani Kota Fajar, Abuya Yusuf ‘Alamy, Abuya Aidarus Kampar, Abuya Imam Syamsuddin Sangkalan, Abuya Jakfar Lailon, Abu Syekh Marhaban Kruengkalee dan para ulama lain yang segenerasi mereka.
Abu Qamaruddin Lailon belajar berbagai ilmu pada Abuya Syekh Muda Waly, dan yang paling identik dari kepakaran Abu Qamaruddin Lailon adalah tarekat dan tasawuf.
Sehingga masyarakat mengenal beliau sebagai ulama yang sangat mendalam dalam kajian tasawuf dan tarekat. Beliau juga salah satu mursyid yang diangkat langsung oleh Abuya Haji Muda Waly al-Khalidy.