Kitab Minhaj Thalibin merupakan kitab tertinggi yang telah diteliti secara mendalam oleh Imam Nawawi bahkan merupakan rujukan utama dalam Mazhab Syafi’i, sehingga para ulama yang datang sesudah Imam Nawawi banyak yang mengulas kitab Minhaj Thalibin seperti Syekh Ibnu Hajar dengan Tuhfatul Muhtaj, Syekh Syihabuddin Ramli di Nihayatul Muhtaj, Syekh Khatib Syarbini dengan Mughni Muhtaj dan banyak karya lainnya.
Teungku Abdusssalam Meuraxa menyelesaikan terjemahan Kitab Minhajut Thalibin menjelang akhir usianya di tahun 1953 karena ditahun 1955 beliau wafat. Kitab Minhaj diterjemahkan dalam beberapa jilid.
Selain kitab Arab, beliau juga menulis beberapa buku untuk menolak pemahaman keliru dari kaum misionaris. Bahkan disebutkan beliau pernah berdebat secara ilmiah dengan seorang misionaris yang datang secara khusus untuk berdebat dengannya di tahun 1930.
Perdebatan tersebut beliau bukukan sehingga bisa dibaca dan menjadi bahan kajian untuk generasi selanjutnya. Semua buku yang dikarang oleh Teungku Abdussalam Meuraxa masih tersimpan dengan baik di rumah anaknya yang umumnya mereka tinggal di Jakarta, karena anak beliau umumnya menjadi dokter ahli yang bergerak dalam bidang kesehatan.
Selain sebagai seorang ulama, beliau juga dikenal dalam masyarakat Aceh sebagai seorang saudagar atau pengusaha yang banyak mengimpor kitab-kitab dari Mesir dan kain serta pakaian dari Jawa. Khusus untuk kitab Arab, beliau kemudian membangun sebuah Toko Kitab Atjeh Kubra yang tempatnya di Pasar Aceh.
Di toko tersebut banyak dijual karya-karya para ulama Mesir berhaluan pembaharuan seperti karya Syekh Muhammad Abduh, Sayyid Rasyid Ridha dan para ulama lainnya. Walaupun beliau ditempa di berbagai lembaga keagamaan tradisional, namun tetaplah beliau seorang yang moderat dengan berbagai pemahaman yang ada.
Teungku Abdurrahman Meuraxa juga dikenal sebagai seorang ulama yang konsisten dalam memberi nasehat kepada siapapun, bahkan ketika salah seorang ulama dan ilmuan Aceh Teungku Muhammad Hasbi Siddiqie berangkat ke Banda Aceh berpindah dari Lhokseumawe, beliaulah yang menampung Teungku Muhammad Hasbi Siddiqie dan banyak memberi nasehat yang berharga untuknya, karena di tahun 1951 Teungku Muhammad Hasbi Siddiqie berangkat dan kemudian tinggal di Yogyakarta sampai beliau menjadi guru besar di Universitas Sunan Kalijaga.