Banda Aceh — Salah satu alasan mendasar Gubernur Aceh Nova Iriansyah ingin menunda pelaksanaan Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) karena mendengar alasan pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Aceh.
KADIN Aceh mengklaim bahwa melakukan transaksi untuk keperluan ekspor akan lebih mahal. Bertransaksi dengan bank syariah akan menjadikan komoditas ekspor Aceh tidak kompetitif sehingga akan menghambat ekspor Aceh.
Di samping itu, KADIN beralasan bahwa jika Qanun LKS berlaku, mereka akan mengalami kendala untuk melakukan transaksi luar negeri dengan negara-negara yang belum memiliki bank syariah.
“Melihat kesiapan dan fasilitas bank syariah, maka dalih yang dikemukan pengusaha KADIN Aceh sangat tidak masuk akal,” ujar Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Prof Dr Shabri Abdul Majid SE M.EC, Sabtu (26/12).
Bahkan lebih tidak masuk akal lagi, ketika alasan yang tidak sahih tersebut didengar oleh Gubernur Aceh dan dijadikan alasan untuk menunda penerapan Qanun LKS dan sekaligus merevisinya.
Prof Shabri menyampaikan, salah seorang bankir yang sudah lama berkecimpung di dunia perbankan syariah di Aceh dan kini ia ikut terlibat dalam mempersiapkan bank syariah menyambut implementasi Qanun LKS menyebutkan, bank syariah sangat siap menyambut qanun dan sudah melakukan berbagai persiapan.
Dukung padu untuk melaksanakan Qanun LKS ini sudah disampaikan ke Pemerintah Aceh dalam beberapa kesempatan dialog.
Namun sayangnya, Pemerintah Aceh tidak mau mendengar. Pemerintah Aceh lebih mendengar pengusaha, daripada dunia perbankan syariah.
Perbankan syariah di Aceh, seperti Bank Syariah Mandiri (BSM) telah memiliki produk tabungan bisnis, dimana nasabah dapat melakukan transfer uang kemana pun, baik dalam maupun luar negeri tanpa biaya (gratis) dengan menggunakan Real Time Gross Settlement (RTGS) atau Sistem Kliring Nasional (SKN).
“Jadi, klaim bahwa melakukan transaksi atau transfer dengan bank syariah itu mahal adalah menyesatkan,” sebutnya.
Kemudian, khusus untuk transaksi uang ke luar negeri, biaya transaksi tidak bergantung pada jenis bank yang melakukannya, misalnya, transaksi antara bank syariah di Indonesia dengan bank syariah di luar negeri atau antara bank konvensional di Indonesia dengan bank konvensional di luar negeri.
Jumlah biaya transaksi uang ke luar negeri itu ditentukan oleh biaya bank koresponden di luar negeri, jumlah nominal transfer, dan nilai kurs (perbedaan antara nilai Rupiah dengan nilai mata uang asing).
Jadi, alasan pengusaha KADIN Aceh, malakukan transfer uang ke luar negeri dengan bank syariah lebih mahal adalah sesat dan menyesatkan.
“Banyak nasabah bank syariah telah menggunakan jasa untuk melakukan transaksi ke luar negeri. Mereka puas dan tidak ada yang mengeluh,” terangnya.
Bahkan ada nasabah yang sebelumnya sering melakukan transaksi uang ke luar negeri di bank konvensional, kini pindah ke bank syariah.
Bahkan kini, bank syariah semakin meningkatkan kualitas layanan dan fasilitasnya demi menyambut Qanun LKS. Ini justru mereka lakukan karena bank syariah patuh pada Qanun LKS yang telah diundangkan sehingga mereka mempercepat proses konversi, mempercepat pembuatan produk dan layanan baru.
“Justru bank syariah melakukan ini karena patuh pada Qanun LKS yang diteken Gubernur Aceh sendiri. Ketika bank syariah semakin siap dan mantap, kok malah Gubernur Aceh ingin menundanya?
Ketika bank syariah semakin yakin dan istiqamah, kok keimanan Gubernur kita goyang karena godaan pengusaha KADIN Aceh?,” ungkap Prof Shabri Abdul Majid.
Padahal, lanjutnya, untuk mempersiapkan konversi demi menyambut Qanun LKS, biaya yang dikeluarkan bank syariah tidak tangung-tanggung, waktu yang dihabiskan bukan sedikit, pikiran yang tercurahkan bergunung-gunung.
Bank syariah sudah berkerja all-out demi mematuhi tandatangan Gubernur Aceh yang ingin segera mengimplementasikan Qanun LKS.
Sayangnya, belum apa-apa, dan kemudian terlalu dini dan cepat Gubernur Aceh malah ingin menundanya.
“Padahal, masih ada waktu setahun lagi untuk berbenah dan melengkapi mana yang belum sempurna. Ketika bank syariah benar-benar siap dan masyarakat semakin antusias menyambut Qanun LKS untuk segera mengisi keistimewaan Aceh, kok malah Gubernur ingin berbalik arah, ingin menunda dan mempretelin Qanun LKS?,” katanya.
Prof Shabri melanjutkan, seharusnya pihak gubernur yang bertindak sebagai motor penggerak persiapan membuat pesta rakyat menyambut hari kemenangan pelaksanaan syariat Islam secara kaffah di Aceh melalui implementasi Qanun LKS.
Sesungguhnya, isu dan dan kabar yang dihembuskan untuk menunda Qanun LKS justru akan semakin memperlama proses implementasi Qanun LKS, dan bahkan akan semakin mempersulit, bukannya mempermudah.
Oleh karena itu, para praktisi keuangan syariah di Aceh mengharapkan agar pemerintah beserta masyarakat untuk melakukan beberapa hal berikut.
Pertama, lebih gencar melakukan sosialisasi penerapan Qanun LKS ini. Karena Qanun LKS adalah keinginan rakyat Aceh, maka mereka yang menolaknya adalah musuh bersama rakyat Aceh.
Kedua, secara berkala, Pemerintah Aceh harus membuka telinga lebar-lebar mendengar kesiapan bank syariah, dari sisi produk, teknologi, infrastruktur, biaya transasksi, dan lain-lain.
Jangan malah menuding bank syariah tidak siap, bank syariah rumit, bank syariah mahal, bank syariah menghambat ekspor, dan seterusnya, gara-gara hanya mendengar godaan segelintir pengusaha.
Ketiga, pemerintah harus lebih proaktif membantu bank syariah di Aceh untuk melakukan berbagai pendekatan dengan lembaga negara dan kementerian di pusat, BUMN dan perusahaan-perusahaan besar, dengan menyurati serta mensosialisasikan implementasi Qanun LKS di Aceh.
Dengan demikian, lembaga negara, kementerian, BUMN, perusahaan-perusahaan besar tersebut akan membuka diri, membuka peluang kerja sama dan juga membuka rekening di bank syariah di Aceh sehingga seluruh transaksi mereka di Aceh tetap berjalan dengan baik.
Hingga saat ini, bank syariah, seperti BSM sudah menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga negara dan kementerian di pusat.
BSM sudah dapat melayani pembukaan rekening virtual kementerian sesuai PMK Nomor 153, sudah dapat membuka rekening operasional, penyaluran gaji dan tunjangan, sudah bisa melayani kartu kredit pemerintah, dan lain-lain.
Begitu juga hal yang sama sudah dilakukan dengan pihak BUMN. Untuk iuran BPJS kesehatan sudah bisa dilayani dengan mobile banking, ATM dan via counter teller.
Bahkan dalam hitungan hari, BSM akan me-launching juga layanan pembayaran iuran BPJS tenaga kerja. Kini, BSM juga sedang menggarap dengan PT. Semen Indonesia, Tbk dan PT. Pupuk Indonesia, Tbk agar transaksi para distributor dan agen semen dan pupuk dapat terlayani secara host to host (online).
Ada di kalangan pengusaha yang mengklaim bahwa melakukan transaksi dengan menggunakan mesin EDC (Electronic Capture Bank) dengan pengalihan ke bank syariah biaya mahal, sementara margin keuntungannya tipis sehingga menyebabkan usahanya bisa tenggelam.
“Ini juga sangat tidak logis. Padahal transaksi yang memerlukan pengalihan mesin EDC ke bank syariah, seperti di BSM, hanya perlu mengganti rekening merchant dari Bank Mandiri ke BSM,” ungkapnya.
Artinya, jika ada nasabah Bank Mandiri konvensional yang bertransaksi di sana, aturannya tetap sama dengan sebelumnya, tidak ada tambahan biaya apapun.
“Memang kalau hati yang sudah tidak suka, susah menyadarkannya, kita mau buat sebagus apapun, tetap saja kurang katanya,” cetus, praktisi BSM. (IA)