“Tentunya menjadi pertanyaan, apa yang menjadi indeks sehingga LPPI mengeluarkan rekom tersebut. Ini harus dijelaskan ke publik, jika tidak maka publik wajar menduga ada potensi pengaturan, intervensi tertentu hingga indikasi KKN dalam proses rekomendasi calon dirut BAS tersebut,” katanya.
Muhammad Jasdi mengatakan, polemik pemilihan Dirut BAS bukanlah persoalan yang enteng karena hal ini menyangkut nasib perekonomian rakyat Aceh.
“BAS yang merupakan bank kebanggaan rakyat Aceh adalah harapan penopang ekonomi Aceh. Jika pemilihan Dirut BAS dilakukan asal-asalan sesuai pengaturan KRN atau komisaris, maka hal ini akan berimbas kepada kemajuan ekonomi Aceh ke depan,” ujarnya.
Menurut pria yang akrab disapa Jhon Jasdi itu, sejak awal memang sudah tercium ke publik adanya upaya tertentu untuk mengatur agar Dirut BAS dipegang pihak eksternal.
“Mungkin KRN sudah baca peluang itu, apalagi dengan adanya historis suram antara Pj Gubernur Aceh sebagai pemegang saham pengendali (PSP) dengan manajemen BAS ketika dirinya masih menjabat Pangdam di Aceh saat itu terkait CSR. Sehingga hal itu berpotensi diatur untuk meloloskan kandidat sesuai keinginan komisaris, tanpa memikirkan dampaknya kepada masa depan BAS dan ekonomi Aceh,” jelasnya.
Bahkan pihaknya menduga ada pesanan dan bahkan sudah ada nama yang dibulatkan/dilingkarkan. “Jika memang sudah ada yang dipaksakan harus jadi, maka apa gunanya dilakukan assesmen itu. KRN harus jujur kepada publik,” tegasnya lagi.
Jhon Jasdi meyakini, baik Pj Gubernur sebagai PSP maupun Bupati dan Walikota sebagai pemegang saham BAS tidak menginginkan bank plat merah itu mengalami kemunduran.
“Jika pemilihan Dirut dilakukan tanpa melihat track record dan indeks yang jelas, maka Aceh akan sangat dirugikan. Apalagi jika pihak eksternal yang dipaksakan untuk memimpin BAS, maka akan berdampak kepada etos kerja karyawan, ketidaksesuaian kebijakan karena keterbatasan pemahaman terhadap situasi dan kondisi. Jika itu terjadi, mau dibawa kemana BAS ini,” ujarnya.