Data Ekspor Tercatat di Sumut, Aceh Kehilangan Banyak Dana dari Pusat
Banda Aceh, Infoaceh.net — Fakta mengejutkan terungkap dalam kegiatan sosialisasi dan bimbingan teknis aplikasi Single Submission (SSm) Ekspor yang digelar oleh KPPBC TMP C Banda Aceh pada Rabu, 30 Juli 2025.
Dalam forum tersebut, Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai Kanwil Bea Cukai Aceh, Asral Efendi, mengungkapkan bahwa selama ini banyak data ekspor dari Aceh justru tercatat sebagai berasal dari provinsi lain.
Kesalahan administratif ini bukan sekadar soal teknis, tetapi berdampak langsung pada kerugian ekonomi yang besar bagi Aceh.
Pasalnya, ketika data ekspor—seperti kopi Gayo, crude palm oil (CPO), kakao, hingga rempah-rempah khas Aceh—tercatat berasal dari daerah lain, maka nilai ekspor tersebut tidak masuk dalam perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh.
“Ini bukan hal sepele. Jika kolom Daerah Asal Barang dalam Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) diisi salah atau dibiarkan kosong, maka ekspor komoditas Aceh akan secara otomatis tercatat sebagai milik daerah lain. Ini jelas merugikan kita,” tegas Asral.
Menurutnya, data ekspor yang keliru menyebabkan Aceh kehilangan hak atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Insentif Daerah (DID), hingga Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat.
Dana-dana tersebut hanya bisa diperoleh jika daerah terbukti memiliki kontribusi nyata terhadap ekonomi nasional, salah satunya lewat kinerja ekspor.
Data Salah, Uang Pusat Melayang
Asral mencontohkan, kopi Gayo yang diekspor lewat pelabuhan atau bandara luar Aceh kerap dicatat berasal dari provinsi tempat pelabuhan tersebut berada, seperti Sumatera Utara.
Padahal, komoditas tersebut sepenuhnya berasal dari dataran tinggi Gayo di Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.
“Bayangkan, kopi kita dicatat sebagai produk Sumatera Utara hanya karena kesalahan input data. Lalu Sumatera Utara yang mendapat kredit ekonomi, sementara Aceh hanya melihat tanpa dapat apa-apa,” ujarnya tajam.
Hal serupa bisa terjadi pada komoditas lain seperti CPO dari Nagan Raya dan Subulussalam, pala dari Simeulue, hingga kakao dari Aceh Barat.
Semua berpotensi ‘hilang’ dari catatan ekspor Aceh jika pelaku usaha atau eksportir tidak cermat dan jujur dalam mengisi kolom asal barang.
Dalam kegiatan yang berlangsung di Aula KPPBC TMP C Banda Aceh ini, Kepala KPPBC Achmad Setiawan juga menegaskan komitmen Bea Cukai untuk memperkuat integrasi data ekspor lewat sistem SSm Ekspor yang terhubung antarinstansi.
Program ini merupakan bagian dari National Logistics Ecosystem (NLE) yang dicanangkan pemerintah pusat sejak beberapa tahun terakhir.
“Lewat SSm Ekspor, kita ingin memastikan semua data ekspor terekam dengan rapi, terintegrasi, dan tidak merugikan daerah asal. Tapi sistem canggih saja tidak cukup. Perlu juga kesadaran pelaku usaha untuk mengisi data secara akurat,” kata Achmad.
Kegiatan ini turut dihadiri oleh berbagai pihak terkait, antara lain Balai Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan Aceh, pengelola Bandara Sultan Iskandar Muda, serta sejumlah eksportir asal Aceh seperti PT. Aceh Kiat Beutari, PT. Bungong Jeumpa Iskandariah, CV. Tiara Global Coffee, dan CV. Aceh Socolatte.
Para peserta mengikuti bimbingan teknis tentang penggunaan aplikasi SSm Ekspor dan berdiskusi aktif tentang kendala di lapangan.
Tim dari LNSW (Lembaga National Single Window) serta Pusat Data dan Sistem Informasi Karantina juga memaparkan pentingnya integrasi sistem ekspor untuk mencegah kesalahan input dan meningkatkan transparansi.
Sebagai penutup, Asral Efendi kembali menekankan pentingnya kesadaran bersama untuk menjaga kepentingan daerah.
“Kalau bukan kita yang jaga data ekspor Aceh, siapa lagi? Jangan sampai daerah lain yang panen hasilnya,” pungkasnya.
Ia mengajak seluruh eksportir, agen logistik, instansi pelabuhan dan bandara, hingga pemerintah daerah untuk bersinergi menjaga akurasi data.
Karena, dalam dunia digital saat ini, data adalah kekuatan, dan kekuatan itu menentukan nasib ekonomi daerah.