Defisit APBN 2025 Bengkak Jadi Rp662 Triliun, Pemerintah Kejar Belanja Prioritas Prabowo
Jakarta, Infoaceh.net – Pemerintah memproyeksikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 membengkak hingga 2,78 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), atau setara Rp662 triliun. Angka ini jauh lebih besar dari target awal sebesar 2,53 persen atau Rp616 triliun.
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, menjelaskan pembengkakan defisit ini disebabkan oleh kebutuhan mempercepat realisasi belanja pemerintah, terutama untuk mendanai program prioritas Presiden Prabowo Subianto.
“Outlook APBN kita untuk 2025 ini kan defisitnya di 2,78 persen. Itu karena masih melibatkan banyak sekali belanja pemerintah yang harus dieksekusi lebih cepat,” ujar Febrio di kawasan Senayan, Jakarta, Kamis (24/7/2025).
Menurut Febrio, percepatan belanja negara menjadi krusial untuk mendorong rebound ekonomi nasional, terutama pada semester II tahun ini.
“Jadi (percepatan belanja) itulah yang nanti akan mendukung rebound untuk semester II-2025,” katanya.
Febrio juga menyinggung kebijakan penurunan tarif impor oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang dinilai bisa menambah dorongan pemulihan ekonomi Indonesia. Penurunan tarif hingga 19 persen itu diperkirakan membawa dampak positif terhadap sektor manufaktur nasional.
“Hasil dari trade negotiation itu berdampak positif bagi aktivitas manufaktur kita. Kalau tadinya kita sudah terancam dengan pertumbuhan yang cukup lemah di 4,7 persen, maka dengan tarif yang lebih baik ini kita melihat pertumbuhan ekonomi bisa rebound di atas 5 persen untuk paruh kedua,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga telah melaporkan kepada Presiden Prabowo soal potensi membengkaknya defisit APBN dalam rapat di Istana Kepresidenan. Proyeksi itu menunjukkan tekanan besar terhadap pengelolaan fiskal nasional, di tengah upaya pemerintah menjalankan berbagai agenda transformasi dan program unggulan.
“Outlook dari APBN akan mencapai defisit 2,78 persen dari PDB,” kata Sri Mulyani dalam rapat tersebut.
Kondisi ini menandakan bahwa pemerintah perlu berhati-hati dalam menyeimbangkan antara ekspansi fiskal dan keberlanjutan anggaran. Apalagi, tekanan terhadap sektor pendidikan, kesehatan, hingga subsidi energi juga masih tinggi di tengah ekspektasi masyarakat terhadap kinerja pemerintahan baru.