Banda Aceh, Infoaceh.net — Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh mencatat nilai ekspor luar negeri Aceh pada September 2025 mencapai US$ 50,44 juta, turun 11,71 persen dibandingkan bulan sebelumnya (Agustus 2025) yang tercatat sebesar US$ 57,13 juta.
Sebaliknya, nilai impor Aceh justru mengalami kenaikan signifikan sebesar 58,26 persen, dari US$ 29,90 juta pada Agustus menjadi US$ 47,32 juta pada September 2025.
Plt. Kepala BPS Aceh Tasdik Ilhamuddin, Selasa (4/11) menjelaskan, penurunan ekspor pada September disebabkan oleh menurunnya permintaan untuk beberapa komoditas utama Aceh, seperti batubara, kondensat, serta kopi dan rempah-rempah.
“Nilai ekspor batubara pada September mencapai US$ 38,47 juta, turun dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan ekspor kondensat tercatat sebesar US$ 5,39 juta dan kopi serta rempah-rempah senilai US$ 3,05 juta,” ujar Tasdik dalam keterangan resmi BPS Aceh
Ia menambahkan, kenaikan nilai impor terjadi karena meningkatnya pengiriman gas propana/butana dan bahan hasil minyak ke Aceh.
“Impor gas propana dan butana tercatat sebesar US$ 45,89 juta, sedangkan impor bahan hasil minyak mencapai US$ 1,43 juta,” kata Tasdik.
Secara umum, tren ekspor dan impor Aceh sepanjang September 2024 hingga September 2025 berfluktuasi. Nilai ekspor tertinggi terjadi pada Desember 2024 sebesar US$ 78,56 juta, sedangkan titik terendah tercatat pada Januari 2025 hanya US$ 10,05 juta.
Untuk impor, nilai tertinggi terjadi pada Desember 2024 sebesar US$ 71,19 juta, dan terendah pada Juni 2025 senilai US$ 21,17 juta.
Berdasarkan catatan BPS, neraca perdagangan luar negeri Aceh pada September 2025 mengalami surplus sebesar US$ 3,12 juta, atau menurun dibandingkan bulan sebelumnya (Agustus) yang mencatat surplus US$ 27,23 juta.
“Kondisi surplus ini masih menunjukkan bahwa ekspor Aceh lebih tinggi dari impor, namun margin surplusnya terus menurun akibat peningkatan nilai impor energi dan bahan baku,” terang Tasdik.
Negara Tujuan Ekspor dan Asal Impor
Selama September 2025, India masih menjadi tujuan utama ekspor Aceh dengan nilai mencapai US$ 39,25 juta, disusul Thailand (US$ 6,02 juta) dan Tiongkok (US$ 1,27 juta).
Sementara itu, negara asal impor utama Aceh adalah Amerika Serikat dengan nilai US$ 23,73 juta, diikuti Qatar (US$ 22,16 juta) dan Singapura (US$ 1,43 juta).
Tasdik menjelaskan struktur perdagangan luar negeri Aceh masih didominasi oleh komoditas sektor energi, baik ekspor batubara dan kondensat, maupun impor gas dan bahan bakar minyak.
“Ketergantungan terhadap komoditas migas dan batubara membuat nilai perdagangan Aceh sangat sensitif terhadap fluktuasi harga global,” tambahnya.
Tasdik Ilhamuddin menegaskan perlunya diversifikasi komoditas ekspor agar perekonomian Aceh tidak bergantung pada sektor energi.
“Kita perlu memperkuat ekspor produk nonmigas seperti pertanian, perkebunan, dan industri pengolahan agar kinerja perdagangan lebih stabil dan berkelanjutan,” ujarnya.
Ia juga mengimbau pemerintah daerah bersama pelaku usaha untuk mendorong peningkatan kualitas produk ekspor serta membuka akses pasar baru di Asia Selatan dan Timur Tengah.
“Dengan kolaborasi lintas sektor, potensi ekspor Aceh bisa terus berkembang, sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi daerah,” pungkas Tasdik.



