LHOKSEUMAWE — Manajer Bisnis PT Pelindo Cabang Lhokseumawe Bukhari, memaparkan kondisi Pelabuhan Krueng Geukueh Lhokseumawe yang memiliki kedalaman 7-9 meter, telah memadai untuk melakukan kegiatan kepelabuhanan dan bongkar muat, dengan sejumlah sarana dan prasarana yang telah dimiliki pelabuhan tersebut saat ini.
“Hanya saja, Pelabuhan Lhokseumawe ini masih memerlukan support dari pihak eksternal untuk pengembangan pelabuhan agar tumbuh menjadi lebih baik ke depannya,” jelas Bukhari.
Hal itu disampaikannya saat menyambut Tim Pansus Rancangan Qanun (Raqan) Tata Niaga Komoditas Aceh (TNKA) Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang meninjau
Pelabuhan Krueng Geukueh Lhokseumawe dan beraudiensi dengan manajemen PT Pelindo Cabang Lhokseumawe, Kamis siang (7/10).
Kepala Syahbandar Operasional Pelabuhan Krueng Geukueh Lhokseumawe Azwar, mengatakan banyak pengusaha yang datang dan meminta informasi mengenai pelabuhan. Namun, banyak dari pengusaha tersebut tidak kembali dan melakukan aktivitas ekspor ataupun impor.
“Saya tidak tahu penyebabnya kenapa. Jadi mereka hanya datang mencari informasi, tapi tidak kembali,” jelasnya.
Pelabuhan Krueng Geukueh yang berstatus pelabuhan pengumpul, lanjut Azwar, telah memiliki nama besar di luar, karena memiliki sertifikat Statement Of Compliance Of A Port Facility (SOCPF).
“Dengan adanya sertifikat ini, maka Pelabuhan Lhokseumawe ini bisa mendatangkan kapal berbendera asing. Semua kapal-kapal asing bisa masuk ke mari. Tidak semua pelabuhan bisa dimasuki pelabuhan berbendera asing, tapi Pelabuhan Krueng Geukueh bisa. Tinggal bagaimana kita memikirkan bagaimana menghidupkan dan memajukannya lagi,” imbuhnya.
Syahbandar Lhokseumawe, kata Azwar, siap mendatangkan kapal-kapal dari luar, jika di Pelabuhan Krueng Geukueh memiliki kapal yang akan mengangkut barang dari Aceh.
“Tapi masalahnya, apa yang kita angkut dari sini? Ini yang harus diupayakan agar para pengusaha di Aceh dapat membawa dan mengirimkan barangnya lewat pelabuhan ini,” ujarnya.
Sementara perwakilan pengusaha pelayaran (Indonesia National Shipowners Associattio/INSA), Ahsanuddin, mengatakan untuk melakukan ekspor langsung ke luar negeri, sangat sulit mendatangkan kapal-kapal bermuatan besar berbendera asing.
“Karena kita orientasinya ke luar negeri kan butuh kapal asing, tapi masalahnya jika di Belawan itu datang dengan kapal bermuatan 5 ribu kontainer, itu di sana sudah terkumpul kontainernya dan tinggal diangkut saja ke kapal. Jadi, jika pengirimannya ke luar negeri, itu bisa langsung berangkat. Tapi jika dia datang ke sini (Lhokseumawe) untuk mengambil kontainer cuma sepuluh, dengan biaya labuh dia atau biaya konsumsi minyak yang dikeluarkan, itu tidak imbang dengan barang yang dia bawa. Jadi, bukan tidak didatangkan kapal asing untuk membawa barang-barang konvensional atau komoditi Aceh, karena kita tahu juga di Aceh belum ada satupun perusahaan trader yang bisa mengumpulkan (membeli, menyimpan dan menjual kembali barang). Jadi jika ada hadir perusahaan pengumpul dari luar ke sini mungkin bisa, karena kita tidak punya, jadi sulit mendatangkan kapal asing,” ungkapnya.
“Mungkin kalau untuk kapal lokal itu bisa. Jika ada komoditas lokal, itu tinggal diangkut ke Belawan atau ke Tanjung Priok. Jadi, ini harus dipikirkan solusinya. Jika kita mau melakukan ekspor, maka yang harus kita hadirkan adalah armada yang akan membawa barang itu ke luar negeri. Jangan sampai nanti pengusaha kecil yang mau membawa barangnya ke Belawan tidak bisa lagi, tapi di pelabuhan kita tidak ada armada,” tambahnya.
Pengusaha lainnya, Nazaruddin, yang merupakan pelaku eksportir di Lhokseumawe mengatakan pihaknya mengalami kesulitan jika ekpor harus dilakukan di Pelabuhan Krueng Geukueh.
Hal itu dikarenakan, saat mengimpor barang ke luar negeri, maka ada syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk pengiriman barang ke negara tujuan.
“Misalnya kopi, itu harus dilakukan karantina tumbuh-tumbuhan yang saat ini adanya di Medan. Sedangkan ikan itu karantinanya di Banda Aceh. Jadi tidak mungkin kami mengirim barang ke Medan atau Banda Aceh hanya untuk karantina, lalu bawa barang lagi ke mari untuk diekspor. Selain itu, persoalan izin-izin juga menjadi kendala, di mana di Belawan, sudah ada pihak yang memproses izin serta syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mengekspor barang ke luar negeri.
Di Pelabuhan kita itu tidak ada, maka kami mengharapkan di pelabuhan ini bisa tersedia pelayanan satu pintu, mulai dari proses karantina, fumigasi, surveyor, bea cukai, serta kepengurusan-kepengurusan lainnya yang dibutuhkan untuk mengekspor barang. Karena, negara tujuan itu jika satu syarat saja tidak terpenuhi, maka barang kita disuruh putar balik bawa pulang,” ungkapnya.
“Jadi, jika pelabuhan ini mau melakukan ekspor, maka pemerintah harus menyediakan dulu kepengurusan syarat satu pintu ini. Jadi setiap orang bawa barang, sudah ada yang menangani kebutuhan syarat dan dokumen untuk kebutuhan ekspor di pelabuhan,” tambah Dek Gam–sapaan akrab Nazaruddin.
Sementara itu, Wakil Ketua Pansus TNKA, Tantawi, mengatakan pihaknya akan menampung saran-saran dan masukan tersebut, untuk dibahas nantinya dalam perumusan dan penyempurnaan Raqan TNKA.
“Semoga saja, kami dapat segera merampungkan rancangan qanun ini, dengan harapan menjadi regulasi yang bermanfaat untuk masyarakat Aceh dan meningkatkan perekonomian Aceh ke depannya.
Untuk itu, kami juga mengharapkan dukungan dari semua pihak agar rancangan qanun ini, dapat dirumuskan secara sempurna dan tidak hanya menjadi pajangan nantinya jika qanun ini disahkan,” tutupnya. (IA)