Sektor kelautan dan perikanan, lanjut Nova, berpotensi besar untuk didorong dan ditingkatkan guna mewujudkan Visi Aceh yang Islami, Maju, Damai dan Sejahtera pada tahun 2032, dan Visi Indonesia 2045 yaitu Berdaulat, Maju, Adil dan Makmur.
Namun, kata Nova, ada dua hal penting yang harus segera diselesaikan oleh sektor kelautan dan perikanan untuk tumbuh dan berkembang sesuai maksud pembangunan.
Pertama, perlunya menerapkan desain korelatif untuk mewujudkan tata kelola kelautan dan perikanan yang bergerak menuju satu tujuan, melalui kerangka ruang ekonomi kelautan dan perikanan berbasis ruang dan sumber daya yang dimiliki oleh ruang tersebut.
Dari 23 Kabupaten/Kota di Aceh, 18 di antaranya terletak di wilayah pesisir dan berada di dua Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), yakni WPP NRI 571 Selat Malaka dan WPP NRI 572 Samudera Hindia pada perairan laut, serta satu WPP PUD 439 di perairan darat, yang mewakili karakteristik dan dinamika ekologi, sosial-ekonomi, dan kompleksitas pengelolaan.
Kedua, langkah penyelarasan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan sektor kelautan dan perikanan.
Lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta turunannya, kata Nova, kini menjadi pondasi pembangunan ekonomi, salah satunya kelautan dan perikanan.
Sebelumnya telah dimulai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil; Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2006 tentang Penataan Ruang; dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Sementara itu, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan kewajiban integrasi ruang darat dan laut bagi setiap wilayah dalam kewenangan Republik Indonesia.
“Menimbang regulasi-regulasi tersebut di atas, setidaknya ada tiga penyelarasan yang perlu dilakukan. Pertama, selaras kewenangan Aceh dengan Pusat dan Kabupaten/Kota. Perlu segera penguatan mekanisme tata kelola antara kewenangan yang menjadi program turunan pusat dengan pemerintah Aceh,” kata Nova.