Setelah dikurangi konsumsi internal, total pasokan domestik DTY mencapai 270.000 ton. Meski demikian, impor DTY pada 2024 tetap tercatat sebesar 120.000 ton.
“Secara kapasitas, industri nasional baik POY maupun DTY sangat bisa untuk memenuhi kebutuhan domestik dan mensubstitusi volume impor,” jelas Redma.
Ia menambahkan bahwa supply domestik ini adalah murni penjualan ke pasar setelah dikurangi kebutuhan internal.
Kata dia, hanya dua perusahaan anggota APSyFI yang berada di kawasan berikat, dan keduanya saat ini sedang dibekukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Oleh karena itu, menurutnya, argumen soal kawasan berikat tidak relevan dalam konteks ini. Redma pun turut menegaskan bahwa penerapan BMAD tidak serta merta menghentikan impor.
“Meskipun BMAD diberlakukan, importasi dari China masih tetap bisa dilakukan dengan membayar BMAD. Importir pun masih sangat dimungkinkan untuk melakukan impor dari negara lain di ASEAN dan negara anggota RCEP lainnya dengan tarif 0 persen,” katanya.
Ia juga menyoroti bahwa sektor industri hilir sebenarnya telah mendapatkan perlindungan melalui kebijakan safeguard kain sejak empat tahun lalu melalui PMK No. 48 Tahun 2024. Dengan demikian, ia menilai kekhawatiran terhadap persaingan akibat pembatasan impor benang filament tidak beralasan.
Redma menambahkan bahwa produk Polyester Staple Fiber (PSF) yang dikenakan BMAD saat ini tidak terkait langsung dengan benang filament POY-DTY.
“PSF merupakan bahan baku untuk memproduksi benang pintal dan bukan benang filament tertentu. Industri penggunanya pun berbeda,” ujarnya