Legalisasi Tambang Rakyat, Jalan Tengah Penertiban Tambang Ilegal di Aceh
Tapaktuan, Infoaceh.net — Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem menegaskan sikap keras terhadap praktik tambang ilegal di Aceh. Ia memberi ultimatum agar seluruh alat berat segera dikeluarkan dari hutan, seraya menyiapkan Instruksi Gubernur untuk menata dan menertibkan tambang ilegal, yang nantinya diarahkan agar bisa dikelola oleh masyarakat dan UMKM.
Langkah tegas ini langsung mendapat dukungan dari Ketua Dewan Pimpinan Cabang Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (DPC APRI) Aceh Selatan, Delky Nofrizal Qutni. Menurutnya, penertiban tambang ilegal, khususnya yang menggunakan alat berat, adalah langkah penting demi menyelamatkan hutan dan ekosistem Aceh.
Namun, ia mengingatkan penertiban semata tanpa jalan keluar justru bisa memperdalam konflik.
Delky mendorong agar Gubernur Mualem segera melahirkan Qanun Pertambangan Rakyat sebagai dasar hukum legalisasi tambang rakyat.
“Penertiban penting, tapi jangan sampai rakyat kehilangan ruang hidupnya. Legalisasi tambang rakyat adalah solusi agar tidak ada lagi kebocoran PAD, rakyat terlindungi secara hukum, dan lingkungan bisa dikelola dengan standar yang jelas,” tegas Delky, Kamis, 25 September 2025.
Masalah tambang ilegal di Aceh memang sudah mencapai skala mengkhawatirkan.
DPRA mengungkap ada sekitar 1.000 unit ekscavator yang bekerja di hampir 450 titik tambang ilegal tersebar di berbagai kabupaten.
Aktivitas itu bukan hanya merusak hutan, tapi juga melahirkan praktik rente dengan penyetoran “uang keamanan” yang nilainya ditaksir mencapai Rp360 miliar per tahun ke oknum aparat.
Walhi Aceh pernah mencatat kerusakan hutan akibat tambang emas ilegal di Aceh Barat saja sudah mencapai 5.000 hektare dalam lima tahun terakhir, sementara temuan mereka di seluruh Aceh menunjukkan kerusakan di kawasan hutan lindung dan produksi sudah menembus hampir 5.000 hektare.
Di sisi lain, data resmi Dinas ESDM Aceh mencatat luas pertambangan tanpa izin hanya sekitar 1.720 hektare.
Namun Walhi memperkirakan luasnya mencapai 3.500 hektare, atau hampir dua kali lipat. Selisih 49 persen antara data resmi dan lapangan menunjukkan betapa besarnya aktivitas ilegal yang luput dari pencatatan negara.
Kasih Komentar